Entri Populer

Thursday 31 December 2015

Secret Santa 2015 Riddle




Akhirnyaaaa, posting ini juga. \(*0*)/
Saya dapet dua dari lima weird and wicked series Kiddo, yang nomor 1 dan 3.



Makasih, yes, Santa.... *cipok*

Nah, ini riddle-nya, silakan dibaca di foto ini. Ngahahahahhah....



Nggak, ding. Ini saya ketik ulang yang bagian petunjuk.


From Sumatera With Love 

Eh..., petunjuk mengenai saya belum saya beri ya. Maaf, karena memori saya sering penuh, jadi suka lupa. Hehe....

Sebagai penikmati fiksi, saya selalu menyukai roman. Desaain sampulnya selalu menggoda. Juga ada sensasi tersendiri saat membaca roman. Hari-hari terasa cepat berlalu saat sedang asyik membaca roman. Satya termasuk blogger yang moody dalam mereview sehingga postingan saya sedikit.
Siapakah saya?
Semoga kamu berhasil menebak dan menikmati bukunya.

Salam, 
target 103


Sementara, saya berhasil mengumpulkan beberapa clue: Sumatera, biru, roman, review sedikit. 
Kata-kata yang biru, memang berwarna biru di suratnya.
Hm... *elus2 dagu*
Dompetnya pun..., warna biru. Saya suka, saya suka. *ala Mei Mei*

Nah, nanti saya blogwalking dulu ke para peserta. 
Saya pasti bisa menebak, deh. 
*pede*

Tuesday 1 December 2015

Dampak Mengerikan yang Perang Berikan--Ulasan Mengail di Air Keruh karya Agatha Christie




Judul: Mengail di Air Keruh
Penulis: Agatha Christie
Penerbit: Gramedia

Dunia akan menjadi tempat yang sulit dihuni—kecuali bagi yang kuat.—Hercule Poirot

Keluarga besar Cloade terbiasa, atau dibiasakan, menggantungkan hidup mereka pada Gordon Cloade. Mereka sudah terbiasa hidup aman dan nyaman bertahun-tahun hingga suatu ketika, Gordon memutuskan menikah lagi. Saat menikah, umur Gordon adalah 62 tahun. Dan dia menikahi perempuan berusia 24 tahun bernama Rosaleen saat sedang melakukan perjalanan ke luar negeri. Wajar jika muncul anggapan bahwa Rosaleen hanya mengincar harta Gordon. Dan ketika baru dua hari tiba di London, terjadi serangan udara, rumah mereka terkena serangan udara. Seisi rumah meninggal, Gordon dan para pelayan, kecuali Rosaleen dan kakak Rosaleen yang bernama David Hunter.

Jadi, Gordon belum sempat membuat surat wasiat baru dan seketika meninggalkan anggota keluarga besarnya dalam keadaan terkatung-katung.

Secara hukum, harta itu menjadi hak Rosaleen. Hak harta itu akan kembali kepada keluarga besar Cloade jika Rosaleen mati. Tapi, dia masih muda, jadi kematian tampaknya masih akan lama sekali bertandang.
Kecuali....

Nah, wajar jika tiap-tiap anggota keluarga Cloade menginginkan kematian Rosaleen. Mereka yang terbiasa hidup nyaman tiba-tiba dipaksa mandiri. Mereka terpaksa meminta, yang tampaknya tidak sesuai dengan karakter mereka. Terbiasa menerima, memang. Tapi meminta? Nanti dulu.

Buku ini terbagi menjadi tiga bagian.

Pada awal buku mengenai waktu pertama kali kondisi keluarga Cloade didengar Poirot, dan bagaimana kemudian dia terlibat di dalamnya.

Bagian berikutnya disebut: Bagian Pertama. Bagian ini adalah kisah keluarga Cloade. Keadaan mereka yang susah setelah kematian Gordon. Ada Lynn yang baru kembali dari perang dan ibunya, Mrs, Marchmont. Ada Jeremy Cloade, seorang pengacara, dan istrinya, Frances. Ada Dokter Lionel Cloade, dan istrinya, kita sebut saja Bibi Kathie. Dan ada juga Rowley Cloade, salah satu keponakan Gordon Cloade. Kita akan diajak mengikuti seluk beluk tujuh orang ini, yang terbiasa dimanjakan Gordon Cloade dan tiba-tiba harus meminta uang kepada Rosaleen, dan kakaknya, David Hunter.

Bagian Kedua dimulai ketika Poirot kembali terlibat.

Seperti biasa, Agatha akan membuat kita terpesona dengan betapa banyaknya petunjuk yang dia sebar, seperti ranjau, tapi kita seolah buta. Yah, saya sudah baca buku ini lebih dari dua kali, jadi saya sudah tau sebagian besar kisahnya, dan itu memang mengurangi sedikit greget. Masalahnya, kok saya nggak bisa inget gimana ending-nya, ya? Sambil bertanya-tanya saya lanjutkan membaca hingga akhirnya tiba pada bagian akhir. Dan saya mengerti.

Ending ini pasti tidak dapat diterima otak saya sehingga otak saya menolak untuk menyimpannya sebagai memori. *Ngahahahahahahah* *kumat*

Tapi, sekarang akan saya ingat. Agar ketika kangen dan ingin baca ulang buku Agatha, saya tidak perlu mengambil buku ini. Ending-nya sungguh merusak. Bukan tentang kasusnya.

Tapi, tentang karakter tokoh. Seperti... melihat temanmu yang mempertahankan hubungan dengan orang yang selalu menyiksanya. Menjengkelkan. Dan jika dikatakan bahwa itu karena ada cinta yang besar di antara keduanya maka otak saya belum sampai untuk bisa menerima cinta macam itu.

Entah apa yang ingin disampaikan Agatha dengan menampilkan karakter seperti ini. Apakah terkait dengan kegelisahan Lynn bahwa jangan-jangan yang lebih mengerikan dari perang bukanlah mati terkena ranjau, melainkan pulang tapi tidak bisa lagi menjadi orang yang sama? Tidak bisa lagi merasakan kedamaian yang sama.

Saya beberapa kali mendengar, atau melihat di film, ada orang yang setelah kembali dari perang lebih suka berada dalam suasana tegang sehingga justru sulit merasa nyaman dalam suasana tenang. Akhirnya, mereka kadang justru memilih berbuat onar. Bukan demi apa-apa, hanya demi merasakan pacuan adrenalin lagi.
Apakah saat itu kondisinya memang pemulihan pascaperang sehingga Agatha menyampaikan tentang pentingnya kekuatan manusia untuk bertahan pada beberapa tempat dalam novel ini. 

Apa yang terjadi atas tumbuhan menjalar bila beringin tempatnya melilit tumbang?
Watak tidak tinggal diam. Dia bisa mengumpulkan kekuatan. Dia bisa pula membusuk. Bagaimana seseorang itu sebenarnya, baru kelihatan nyata bila dia menghadapi cobaan—apakah kita bisa bertahan atau jatuh dalam menghadapinya.—Poirot, Mengail di Air Keruh p. 234

Manusia tidak berubah. –p. 289, ucapan Poirot ini diulang pada p. 298.

Saya juga sempat berpikir, jangan-jangan, ini adalah sisipan pesan, seperti Oscar Wilde dalam Dorian Gray yang menceritakan perasaan saling suka sesama jenis, jangan-jangan Agatha ingin mengenalkan kondisi psikologis sadomasokis yang timbul dalam jiwa manusia pascaperang.
Ya..., saya tau mungkin ini kejauhan. Tapi bukan tidak mungkin, kan? *tetep*
Dan jika memang dugaan saya ini benar--kalau-kalau nanti ada yang mau riset keterkaitan tahun novel ini dibuat dengan kondisi psikologi masyarakat London saat itu--maka novel ini sepatutnya justru dapet 5 bintang.

Lalu, saya juga teringat dengan cerpenis Amerika, O. Henry. Pada salah satu cerpennya dia bercerita tentang seorang tokoh perempuan yang meminta kepada temannya yang seorang penulis menceritakan kisah nyata dengan mengubah ending-nya. Agar cerita itu lebih bermoral. Saya jadi berpikir, apakah lalu karya fiksi harus selalu menunjukkan contoh pelajaran baik bagi pembaca? Bahwa yang jahat akan kalah dan yang baik akan menang?
Jangan-jangan..., saya juga sebenarnya ingin fiksi selalu bermoral?
*Hikz*

Ini akan jadi bahasan yang ruwet. Dan sebelum saya telanjur jauh, akan saya hentikan.

Terlepas dari hal yang memenuhi otak saya terkait ending yang tidak biasa dari Agatha ini, tokoh X ini memang tidak kuat, cenderung labil, jadi ya tidak menarik. Dan saya tidak suka. *kumat lagi* Apakah tidak mungkin ada sosok seperti ini? Mungkin. Dan itu bikin makin kesel.
Mungkin perang memang mengubah banyak hal.

Saya sarankan, bagi yang belum pernah membaca buku Agatha Christie sebelumnya, jangan ambil buku ini. E..., baca yang lain masih banyak. Baru jika dirasa kurang dan masih ingin membaca tentang Poirot, buku ini bisa dijadikan pilihan. Atau, coba kalau cowok yang baca. Mungkin akan ada pandangan lain dari sisi pembaca laki-laki. 

Saya memang jatuh cinta pada Poirot, tapi otak saya tidak mau percaya pada ending-nya. Mungkin, masalah ini setara dengan yang ditanyakan salah satu tokoh kepada Poirot dalam buku ini: 
“Bisakah kita mencintai seseorang yang tidak kita percayai?”
Dan Poirot menjawab: “Sayangnya, memang bisa.”


*postingan ini disimpen buat event BBI: Baca Bareng 2015 




*Sekarang hampir jam 4 pagi. Tapi saya khawatir jika menunda, saya akan smakin kehilangan gairah untuk menulis ulasan tentang buku ini. *nguap anggun, bubuk cantik

Monday 30 November 2015

Menyukai Sesama Jenis, Bawaan Lahir atau Tercipta Kemudian?--Ulasan Cerpen “Perempuan Tua dalam Kepala” karya Arvianti Armand

Cerpen "Perempuan Tua dalam Kepala" yang saya ulas dari buku ini



Sejak membaca “Perempuan Tua dalam Kepala” karya Avianti Armand dalam buku Dari Salawat Dedaunan Sampai Kunang-Kunang di Langit Jakarta: 20 Tahun Cerpen Kompas Pilihan, saya selalu terngiang dengan kisah ini. Seperti saya sebutkan sebelumnya, bagi saya cerpen ini memberi pemahaman mengenai bagaimana pemerkosaan itu sesungguhnya.
Dalam ulasan kali ini akan saya bahas. Jadi, ini bukan resensi dan akan penuh spoiler. Sebaiknya, baca dulu cerpen ini agar tidak kecewa. Bisa baca di sini
Saya ingat, ada yang pernah berkata bahwa ketika diperkosa, sebaiknya nikmati saja. Bukan cuma di Indonesia, ternyata. Coba cek di sini secuplik sisa beritanya. Setelah mendengar pernyataan bodoh yang mungkin dimaksudkan sebagai guyonan itu, saya sakit kepala. Dan ketika menjadi bahasan dengan beberapa orang, salah satu kenalan pun memberi pro yang serupa. Bahwa bukankah korban bisa saja menikmati pemerkosaan?
Mendengarnya, saya semakin sakit kepala…dan langsung tersalurkan.
*tarik napas*
Setelah tragedi emosional dengan orang itu, saya berpikir, jangan-jangan bukan hanya mereka, melainkan ada beberapa lagi yang berpikir demikian.
Bagaimana bisa?
Apa tidak mengerti makna perkosa?

per·ko·sa, me·mer·ko·sa v 1 menundukkan dng kekerasan; memaksa dng kekerasan; menggagahi; merogol: ~ negeri orang; laki-laki bejat itu telah ~ gadis di bawah umur; 2 melanggar (menyerang dsb) dng kekerasan: tindakan itu dianggapnya ~ hukum yg berlaku; negara itu dicap sbg negara yg ~ hak asasi manusia;

Lihat pada kata kekerasan yang ada di sana. Itulah yang membedakan perkosaan dan suka sama suka. Kalau kamu dirayu pacar dan mau ditiduri olehnya, itu bukan perkosaan. Tapi ketika kamu menolak dan tiba-tiba dia menekan kamu ke dinding, membekap mulut kamu agar tidak berteriak, menampar bahkan menabrakkan kepalamu ke dinding agar berhenti meronta…, maka itu perkosaan.
Lalu, jika bukan pengidap sado masokis, di sebelah maknanya bagian dari adegan itu yang bisa disebut dinikmati? Bahkan meskipun perempuan yang dipaksa melayani seperti tadi adalah pelacur, ketika dia tidak bersedia melayani dan dipaksa, itu disebut pemerkosaan.
Dipaksa.
Dengan kekerasan.
Tolong camkan.
Kembali ke cerpen.
Jauh sebelum ini, saya menonton film—saya lupa judulnya—yang di dalamnya disebutkan bahwa sodomi bagai lingkaran setan. Korbannya akan menjadi pelaku, dan demikian seterusnya.
Sudah banyak bukti bahwa bagaimana masa kecil seseorang dihabiskan akan sangat berdampak pada bagaimana dia di masa depan. Luka yang terjadi saat masa kecil seseorang bisa jadi berpengaruh menjadi watak seumur hidupnya.
Ada dua cerpen dalam kumcer ini yang membahas mengenai pengaruh masa kecil ini. Yang pertama adalah “Sempurna”. Jika ingin melihat bagaimana anak-anak Anda yang dipaksa sempurna dengan ikut les dan kontes di masa depan, mungkin tokoh Lara dalam cerpen ini bisa jadi salah satu gambaran.
Cerpen lain, tentu saja, “Perempuan Tua dalam Kepala”.
Bukan hal baru memang kisah mengenai anak yang mengalami kekerasan fisik di masa kecil. Saat membaca ulang cerpen ini, saya terbayang berita-berita yang belakangan ditayangkan di televisi. Apakah perasaan anak-anak itu juga seperti itu? Mencari perlindungan…hingga ketika tidak mendapat dari orang tua di sekitarnya, datanglah si perempuan tua. Dan tinggal di kepalanya, mungkin selamanya mendekam di sana.

Biasanya, pelakunya bahkan justru orang dekat, demikian pula dalam buku ini. Tokoh dalam cerpen ini mengalami kekerasan seksual dari bapak tirinya ketika dia masih kecil.

“Lelaki yang dicintai ibu mencintaiku juga…. Ia sering memintaku duduk di pangkuannya. Sambil bercerita tentang rumahnya di kota lain yang punya kolam ikan koi, tangannya akan membelai pahaku. Aku suka geli dan menyuruhnya berhenti. Tapi ia tak peduli. Ibu juga tak peduli. Ibu malah senang karena ada yang menjagaku di rumah jika ia menghabiskan waktu dan uangnya di mal.—p. 86 

Di hari perempuan tua itu datang, ibu meninggalkanku dengan laki-laki itu.—p. 86 

“Tutup matamu. Kamu tak akan merasa sakit.” Lelaki itu berbohong. Aku merasakan nyeri yang luar biasa di bawah sana. Dan tetap nyeri walau mataku telah terpejam. Aku menjerit. Lelaki itu membenturkan kepalaku ke tembok. Aku menjerit lagi. Ia membenturkan kepalaku lagi. Lagi. Lagi. ….”—p. 87

Jangan tutup mata. Dan memang sepatutnya mual.
Mungkin, memang demikian perasaan anak-anak itu. Mungkin, lebih parah dari itu. Mungkin, mereka bukan hanya dibenturkan ke tembok. Mungkin, telah banyak perempuan tua dalam kepala anak-anak di sekitar kita.

Perhatikan kutipan cerpen berikut:


Aku tak menyukainya. Dia tak menyukaiku. Dia memakiku ketika aku menolong anak laki-laki yang jatuh dari sepeda,….Tapi ia bertepuk senang ketika aku menempelengi pengendara motor yang memotong jalur mobilku.—p. 82


Sebenarnya, mereka tidak mau, tidak suka dengan perempuan tua dalam kepala mereka. Tapi, tidak mampu mengusirnya. Bahkan, tidak jarang mereka justru mengikuti saran perempuan tua itu.
Uniknya…, kehadiran Ben, seorang kawan lama di masa kecilnya yang pernah menghibur ketika ia menangis dalam sebuah gudang, membuka kisah baru.
Tokoh ini sengaja menyimpan sapu tangan yang diberikan Ben untuk mengusap air matanya sebagai kenang-kenangan sebelum ia terpaksa pindah dan kemudian ikut dengan ayah tirinya tadi.
Tokoh yang sekarang sudah dewasa ini, bertemu kembali dengan Ben dan mereka menghabiskan malam bersama. Lalu ia berkata singkat: Ayah tiriku mati muda.—p. 90
Itu katanya kepada Ben, sambil khawatir perempuan tua dalam kepalanya menjadi tidak suka dan kembali mengambil alih emosinya.
Kejadian sebenarnya ada pada halaman sebelumnya.


Ibu bilang, laki-laki tidak boleh cengeng. Ia tetap pergi meski aku merengek-rengek memintanya tinggal. Saat itu, aku benar-benar membencinya.
Satu, dua, tiga… Laki-laki itu menggandengku ke kamar. Empat, lima, enam… Laki-laki itu melucuti celanaku. Tujuh, delapan, sembilan… Ia menelungkupkanku di tempat tidur. Tangannya mulai menggerayangi pantatku yang terbuka. Aku menutup mata erat-erat.p. 89 


Bayangkan seorang anak kecil menghitung ketakutannya. Menghitung detik saat ia akan menerima kesakitan lagi. Menghitung kematian sebagian jiwanya. 


Di hitungan ke sepuluh, pintu rumah perempuan tua itu terbanting terbuka. Mukanya marah. Sebelas, dua belas… Lelaki itu menindih tubuhku. Napasnya mulai terengah.—p. 89


Perempuan tua itu keluar, berusaha menolongnya, karena sang ibu yang dimintai pertolongan tidak mau mendengar.


Tiga belas… Perempuan tua itu berteriak garang. Dari mulutnya keluar kata-kata paling kotor yang pernah kudengar. Laki-laki itu terjengkang kaget.—p. 89


Laki-laki itu terjengkang karena apa yang dirasa si tokoh keluar dari mulut perempuan tua itu sebenarnya keluar dari mulutnya sendiri. Perempuan tua sudah menjelma menjadi dirinya. Perempuan tua merupakan dirinya yang diciptakan sebagai bentuk perlindungan psikologis dari serangan luar. Dari bentuk perlindungan psikologis, perempuan tua menjelma menjadi perlindungan fisik.


Dengan sigap, perempuan tua itu meraih lambu baca di samping tempat tidur. Sepenuh tenaga, dihantamkannya kaki lampu itu ke kepala laki-laki. Besi beradu tulang. Aku mendengar suara retak. Tubuh laki-laki itu terpuruk ke lantai. Darah merembes pelan dari lukanya. Sekali lagi perempuan tua menghantamkannya. Lagi. Lagi. Lagi.—p.89


Tokoh ini menyembunyikan fakta sebenarnya dari Ben. Tentu saja, apa yang akan terjadi jika dia jujur? Dia mungkin akan kehilangan Ben.

Anak-anak--bahkan juga kadang orang dewasa--mencari "perlindungan" dari dirinya sendiri.

Bahkan, ketika tokoh ini bercerita kepada kita, ia masih menggambarkan bahwa yang melakukan pembunuhan itu adalah sang perempuan tua yang hidup dalam kepalanya, bukan dia. Perempuan tua adalah dirinya yang lain, tapi ia tidak sudi mengakuinya.


Kembali kepada Ben, rasa suka tokoh ini kepada Ben sudah muncul sejak di gudang itu.


Aku minta maaf karena tak sempat pamitan. Aku berbohong. Sesungguhnya, aku tak berani menemuinya karena takut ia akan meminta sapu tangannya kembali. Aku ingin menyimpannya.—p.85


Rasa suka tokoh ini—yang berjenis kelamin laki-laki—kepada Ben, yang juga laki-laki, sudah tumbuh sebelum tokoh ikut ayah tirinya. Tidak ada penjelasan waktu khusus terjadinya sodomi oleh si ayah tiri pertama kali.

Jika terjadi setelah pertemuan tokoh dengan Ben, maka artinya tokoh kita memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis sejak kecil. 

Ada yang bilang kecenderungan menyukai sesama jenis merupakan bawaan sejak lahir, ada yang bilang pengaruh lingkungan. Dalam cerpen ini, bukan berarti kecenderungan itu merupakan bawaan sejak lahir. Rasa haus kasih sayanglah yang membuat si tokoh terenyuh saat ada yang bersedia menghapus air matanya. Dan ternyata yang menghapusnya bukan sang ibu, apalagi ayah kandungnya yang entah di manatidak diceritakan, melainkan Ben. Anak laki-laki seusianyalah yang menggenngam tangannya, menguatkan tanpa banyak bertanya apalagi menghakimi, membuatnya nyaman, membuatnya merasa jatuh cinta. 

Meskipun demikian, meskipun si tokoh merupakan penyuka sesama jenis, ia tetap tidak bisa menikmati perkosaan yang dilakukan si ayah tiri. Seperti halnya, meskipun wanita umumnya menyukai laki-laki, tidak berarti ia bersedia dan suka-suka saja ditiduri semua laki-laki.

Jika terjadi sebelum pertemuan tokoh dengan Ben, maka mungkin sodomi memang benar dosa yang menjadi lingkaran setan. Mungkin, setelah mendapat perlakuan demikian, akhirnya tokoh menyukai sesama jenis.

Tapi, saya cenderung percaya kejadian menyakitkan itu dilakukan si ayah tiri di rumahnya, setelah mereka pindah ke luar kota, setelah pertemuan tokoh dengan Ben. Karena…, tidak ada perempuan tua dalam kilas balik kisah pertemuan tokoh dan Ben di dalam gudang.


Betapa panjang tulisan ribet saya tentang salah satu cerpen dalam buku Kereta Terakhir karya Arvianti Armand ini? Ya…, saya rasa juga demikian. Meskipun, tentu jauh lebih panjang efek yang ditimbulkan dari perbuatan perkosaan.

Maka, janganlah lagi berpikir atau bercanda tidak lucu mengenai tindakan perkosaan. Perbuatan itu bukan hanya perkara rusaknya selaput dara atau lubang dubur *maafkan istilah saya*, efeknya pasti jauh lebih mengerikan dari itu.

Jangan biarkan anak-anak menciptakan perempuan-perempuan tua dalam kepala mereka.




Monday 16 November 2015

Untuk Menerima Pinangan Memang Butuh Banyak Pertimbangan--Ulasan Critical Eleven karya Ika Natassa



Judul: Critical Eleven
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia

In life, there are no heroes and villains, only various state of compromise.—p. 113


Sebelumnya, saya ingetin..., di sini ada spoiler-nya.... >_<


Ide buku ini sederhana. Tapi, bisa jadi kisah yang panjang. Berkisah tentang Ale dan Anya, sepasang kekasih yang berusaha menghadapi permasalahan di antara mereka, dan sekaligus permasalahan dengan diri masing-masing.

Iya, masing-masing mereka belum berdamai dengan diri sendiri.
Saya rasa, itu kenapa konflik di antara mereka terjadi cukup lama. Masalah di antara mereka bukan lagi ekonomi, tapi lebih pada masalah individual. 


Anya adalah seorang cewek mandiri yang tanpa Ale pun sudah bisa hidup nyaman. Jadi, apa yang membuat Anya menerima pinangan Ale dulu? Cinta? Ya, cinta Ale ke Anya bisa keliatan orang di sekitar bahkan dari jauh. Tapi, bagaimana bisa Anya sampai pada kalimat: “Kadang cinta aja nggak cukup, Le.”?

Kalau saya sebutkan masalahnya, saya khawatir—saya sering bimbang ingin bercerita atau menyimpan—merusak kenikmatan kalian membaca bagi yang belum membaca. Jadi, ada satu perkataan Ale yang menyakiti Anya. Sedemikian sakit sampai dia kuat memilih cara marah versi cewek yang sulit: diam.

Banyak yang bilang, diamnya cewek lebih mengerikan daripada marah. Di buku ini mungkin kita bisa liat gambarannya. Seperti saya bilang, cowok macam Ale ini memang sudah jarang, tapi masih ada. Tipe cowok yang entah gimana keliatannya nggak ada kurangnya. Ya, kecuali pendiam kalau di dekat orang yang nggak bikin dia nyaman.

Sementara cewek kayak Anya….
Saya juga cewek, dan saat membaca saya nggak bisa membayangkan bertindak sekeras Anya. Tapi, penulisnya meramu dengan dukungan lain. Pertama, Ale kerjanya jauh dan jarang pulang *bukan Bang Toyib*, jadi memungkinkan Anya bersikap diam selama itu. Dan terbukti kan sempat luruh. Kedua, momen Ale bilang begitu pas banget. Pas waktu-waktu Anya sensi akut. 

Cewek, kalau sudah milih marah dengan diam, berarti marahnya sudah di ubun-ubun. Karena sadar, mau berteriak sekeras apa pun percuma, maka lebih baik diam. Dan biarkan waktu berjalan seperti biasa. Para cewek akan menganggap orang yang bikin dia marah juga seperti halnya waktu yang memang harus berjalan, harus berada di garis hidupnya, jadi diamkan saja.

Masalahnya, di lain sisi, cewek sangat butuh tempat curhat. Masalah sepele aja kadang mereka butuh tempat cerita, apalagi masalah serius. Dan di sanalah Anya bertahan menampung semua lukanya sendirian dengan diam, nggak cerita ke siapa-siapa, termasuk ibu dan sahabat-sahabatnya.

Kalau “kenapa” lagi yang muncul, ya karena nggak semua masalah akan mendapat solusi dengan diceritakan. Dan pernikahan semakin mengajarkan hal itu. Kadang, ada hal yang ketika diceritakan justru akan semakin runyam. Masalah dalam rumah tangga termasuk di dalamnya. Anya dan Ale pun sadar, bercerita kepada orang lain tidak akan menimbulkan solusi. Karena hanya mereka yang paling memahami masalahnya dan perasaan sesak yang timbul tenggelam dalam permasalahan mereka.

Karakter Anya ini sulit sekali. Apakah wanita serumit ini?
Iya.

Kalau ada kalimat menyakitkan, maka cewek juara dalam mengingatnya.

Kata orang, waktu akan menyembuhkan semua luka, namun duka tidak semudah itu bisa terobati oleh waktu.--Critical Eleven p. 95 
Dan untuk berdamai dengan rasa sakit itu sulit, lho—bagi cewek. Ahahahaha.


Karakter Anya yang sulit juga terlihat dari bagaimana dia memperlakukan kamar Aidan.


Agak ke psikologis sebenarnya masalah Anya dan Ale, ya siapa sih manusia yang nggak punya masalah psikologis. Tapi, Anya dan Ale lumayan parah. Anya menolak ke makam, Ale menolak ke kamar Aidan. Itu kenapa saya bilang, masing-masing masih belum berdamai dengan diri sendiri. Ada hal yang masih belum bisa mereka terima, tapi juga tidak mereka bagi. Jadilah mengendap dan bersarang di hati masing-masing.

Hal yang saya kurang suka dari novel ini adalah… terlalu banyak detail diulang. Bagi sebagian orang mungkin menyenangkan, tapi dalam novel ini banyak sekali. Cerita Anya tentang apa yang akan dia lakukan dengan Aidan. Cerita Ale tentang apa yang dia suka dari Anya. Cara bercerita yang model diulang.

Misal:
Malam ini, aku merasakan dia memijatku lembut, seperti dulu. Dia elus punggungku dan kedua lenganku, seperti dulu. Lalu dia merengkuhku, memeluk dari belakang, seperti dulu. Aku memejamkan mataku, seperti dulu, Le. (versi Anya)

Sementara:

Gue pijat pundaknya, gue elus rambutnya, dan gue cium rambutnya dan bahunya. (versi Ale)

Nah, model Anya itu yang sering terkesan beralur lambat dengan detail-detail perasaan. Bosaaan….Tapi, di sisi lain, sekaligus membedakan, gimana kalo cewek yang cerita dibandingkan dengan gimana kalo cowok yang cerita.

Hal lain adalah penyelesaian masalah mereka bisa dibilang adalah karena “bantuan Tuhan”, ini ada istilahnya dalam dunia penelitian sastra, tapi saya lupa. Intinya, bukan hasil kontemplasi tokoh sendiri, melainkan karena tokoh mengalami kejadian besar--yang seakan sudah digariskan Tuhan.

Terus, Critical Eleven kan tentang 3 dan 8. Tadinya, saya pikir, akan ada tentang yang 8 menit.

Begitulah.
Yah, saya tetap suka. Dan masih dikit baca buku model beginian.
Ketika ditanya kawan, sedih apa nyesek? Setelah baca novel ini. Saya bilang, nyesek lebih tepat.

Ada quote menarik tentang pernikahan di buku ini.


Saat kita duduk di depan meja penghulu dan melaksanakan ijab kabul, semua kita “pertaruhkan”.—p. 153

Saya rasa, kalimat ini perlu diperhatikan kawan-kawan saya sebelum menikah. Pertaruhan yang sebenar-benarnya.
Jadi, memutuskan untuk menerima pinangan memang perlu banyak pertimbangan. 

Itu resensi lama saya. Dulu, semangat bikin karena efek yang ditimbulkan buku ini.
Dan. Sekarang, dapet kabar. Buku ini akan difilmkan. Uwow~~~
(*0* )

Beberapa hal ini adalah harapan saya. Disesuaikan dengan situasi ketika saya membangun imajinasi visual saat membaca buku ini.

1. Adegan ketika Anya kumpul dengan sahabat-sahabatnya dan dia merasa berada di titik balik dalam hidupnya kudu dimasukin. Karena bagian itu pasti ngena. Saat kita mendengarkan sahabat yang menceritakan kabar gembira sementara kita sedang mati-matian melawan kegetiran dalam diri kita.

2. Fokus tentang Anya dalam novel ini lebih pada kondisi psikologis. Saya rasa, akan baik kalau ada satu dua adegan yang menunjukkan bagaimana perubahan seorang wanita menjadi seorang ibu dalam hal fisik. Misal, perut yang berubah atau air susu yang akan tetap menetes tanpa bisa dikontrol oleh tubuh pemiliknya. 


3. Adegan pembuka di buku ini menurut saya bagus. Orang-orang akan bertanya-tanya: "Apa yang terjadi antara mereka berdua?"
Filmnya bisa dimulai dari tempat serupa, nggak? :D


4. Pilih pemain yang ekspresi wajahnya bisa menunjukkan penghayatan dengan hal yang dialami Ale dan Anya, please. Jangan cuma ganteng dan cantik. 

5. Kalau judulnya tetap Critical Eleven. Bisakah lebih menunjukkan kekritisan makna 3 + 8 yang disebut dalam buku agar lebih "ngena" ke penonton?



Yak, syudah.... Kalo kebanyakan minta dibantai. Memang saya mau memproduseri, kok banyak maunya, ngahahhahahahahah....

Can't wait. >_<

Friday 13 November 2015

Membaca Cerita di Luar Logika Kita


Kata einstein: Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan.

Bagaimana batasan logis yang dapat diterima satu orang dengan orang lainnya? Sama dengan selera genre bacaan, berbeda-beda. 
Tidak sedikit kawan saya yang menolak membaca buku Harry Potter karena merasa dunia sihir adalah hal yang konyol, tidak masuk akal, tidak mungkin terjadi. Sehingga, tidak perlu dibaca.
Mendengar pendapatnya, saya teringat bagaimana sebuah dunia hadir di kepala saya, tentang seorang anak berkacamata yang sedang memandang langit dan memikirkan tentang hidupnya—hal yang dulu sering saya lakukan juga. Imajinasi itu begitu nyata sehingga kemudian sulit sekali meletakkan buku Harry Potter pertama itu sebelum selesai. Sejak saat itu, saya rasa saya sudah nyemplung dengan sukarela ke dalam dunia ciptaan Rowling. Jadi bagaimana mungkin ada yang tidak suka dengan buku ini? 
Apakah tidak masuk akal ada dunia sihir lengkap dengan sekolahnya? Bagi saya, mungkin. Setelah membaca Harry Potter. Bagi teman saya, tidak mungkin.
Perbedaan kami adalah saya tidak memiliki batasan apa-apa saat menerima kata-demi kata yang dirangkai Rowling, sementara kawan saya sudah membangun tembok tinggi untuk dunia di luar dunia manusia. Padahal, saya yakin dia mengenal fabel—yang kalau mau dilogika bisa dibilang sama tidak masuk akalnya.
Lalu bagaimana dengan cerita yang di luar nalar? Seperti cerpen “Metamorfosa” Kafka, misal, yang berkisah mengenai perubahan seorang manusia menjadi kecoak? Ini termasuk tidak masuk logika saya. Lalu kenapa ada orang-orang yang dapat menikmatinya?
Itu adalah kekuatan imajinasi. Kekuatan Kafka bercerita berhasil membuat beberapa pembaca dengan sukarela masuk ke dalam dunia yang diciptakannya. Dan orang-orang itu—saya kira tidak banyak yang benar-benar mampu menikmati cerpen ini—tentu memiliki daya imajinasi yang kira-kira setara. Maksud saya, sudah mengalami banyak kejadian dan sudah membaca banyak buku sehingga penerimaan terhadap hal-hal “aneh” pun lebih luas.
Hal tidak logis bagi seseorang tidak selamanya bertahan tidak logis dalam dirinya. Mungkin, kita saja yang belum mengenal dunia itu. Jika mau mengetes, coba baca ulang cerpen yang dulu terasa tidak masuk akal—kalo novel dianggap kepanjangan. Pasti akan hadir pandangan yang berbeda. Bisa jadi lebih menerima, bisa jadi mengernyit heran, kenapa dulu bisa suka. 

Buku apaan, nih?

Bagaimana menyamakan penerimaan logika seseorang dengan yang lain? Jawabannya terletak pada kesamaan latar belakang pengetahuan penulis dan pembaca.
Mari berbicara logika dalam lingkup lebih kecil. Misal, tokoh yang seorang dokter diceritakan melakukan napas buatan. Bagi saya, bisa saja kejadian itu saya skip dan saya terima dengan lapang dada. Tapi ternyata, di belahan dunia lain *kejauhan oi* ada pembaca yang tidak dapat menerima. Bisa saja karena dia seorang dokter atau orang yang berkutat di bidang serupa sehingga mengetahui pasti bahwa tindakan si tokoh dokter itu keliru. Atau, pembaca pernah membaca buku lain dengan kejadian serupa namun sang dokter mengambil tindakan berbeda. Otaknya akan berpikir, “Harusnya nggak gini, kan?” Lalu mulai mencari informasi untuk mengetahui tindakan yang seharusnya dilakukan dokter yang ada dalam novel ini atau novel sebelumnya dia baca.
Dan begitulah pengetahuan baru tercipta dalam diri manusia. *buset* 
Pertanyaan berikutnya. Apakah kita harus bertahan membaca sampai akhir sebuah kisah yang tidak masuk di akal kita? 

Kapan abisnya ni buku?

Nggak ada yang maksa, dong.
Tapi kadang kita perlu memaksakan diri. Kita butuh wawasan baru. Jadi ada kalanya perlu membaca buku di luar zona nyaman kita. 
Alasan lain kenapa kita kadang perlu memaksakan diri membaca sampai selesai adalah karena saking geregetnya. Karena kita tidak berhak men-judge sebuah karya tanpa membaca sebelumnya. Kita sudah selesai baca aja bisa jadi pendapat kita keliru, apalagi belum baca. Hal ini saya lakukan saat membaca Monogram Murders—memaksa diri menyelesaikan membaca.
Beberapa perdebatan penulis dan pembaca di kolom komentar Goodreads pun karena ketidaklogisan cerita seperti itu, kan? Menurut saya, baik pembaca maupun penulis tentu mendapat pengetahuan baru. Jadi, setelah pertikaian seru itu, ya ambil hikmahnya saja. Bagi penulis untuk memperbaiki diri. Percayalah, riset memang sangat diperlukan. 

Karya berikutnya harus lebih baik.

Bagi pembaca untuk menyadari kalau tidak semua buku yang dicetak layak dibaca. *dilempar ke api*

Saya kembali teringat sebuah kalimat.
Seaneh apa pun cerita, selama mampu meyakinkan pembaca, tidak masalah.
Kira-kira begitu. Kalau nggak salah, kalimat itu saya dengar dari Joni Ariadinata pada sebuah kesempatan. Dan saya sepakat.

Nah, ini kali pertama saya ikut event BBI, Opini Bareng 2015. Semoga sesuai jalur. \('')/




Thursday 12 November 2015

Ulasan Komik Parfait Tic! Karya Nagamu Nanaji



Komik ini sudah lama dan sering saya lihat di rak rental komik saat masih kuliah. Tapi, karena komik detektif dan horor masih banyak, komik ini nggak pernah tersentuh. Lagian, kalo romance saya lebih suka komik yang satu serial selesai atau bahkan yang dalam satu komik ada beberapa kisah.

Seperti sudah bisa diduga, seperti komik remaja umumnya, Parfait Tic! bercerita tentang cinta. Tepatnya, cinta segitiga antara Fuuko Kameyama, Ichi Shinpo, dan Daiya Shinpo. Awalnya, saya biasa aja bacanya. Beberapa adegan ada quote kecenya. Memasuki seri 13, saya mulai tertarik.

"Ada aku, kan?Jangan terus-menerus membawa kepingan dirinya, dong."--Parfait Tic! 13

Ceritanya standar, cewek muka standar biasa yang karena sifatnya yang unik bisa memikat dua cowok keren. Bahkan, Fuuko berhasil mengubah Daiya yang suka maen cewek jadi menahan diri dan Ichi yang cool jadi lebih berekspresi. Keduanya bahkan dengan gagah saling menyatakan persaingan. Ada yang pake cara halus, nggak jarang terang-terangan. 

Ichi yang terang-terangan bilang...


Daiya yang sangat menjaga Fuuko

Tapi kemudian--mungkin pengaruh budaya juga--Fuuko sempat digambarkan berjuang keras seorang diri. Saya melihatnya, seakan-akan... Fuuko berjuang mati-matian sendirian. Dan itu menjengkelkan. 

Seakan, mereka sengaja membuat Fuuko jatuh cinta untuk kemudian ditinggalkan. Aaaarrrghhh.... *malah baper*


Well, kalau kamu pernah jatuh cinta dan ribet sendiri dengan cinta, maka mungkin kamu bisa memahami perasaan tokoh-tokoh di sini. Apalagi, mereka baru kelas satu SMA, masih meraba-raba, bagaimana perasaan mereka sebenarnya. Bahkan mungkin, masih mencerna, apa itu cinta.

Ichi dan Daiya sama-sama suka Fuuko, tapi dengan cara yang berbeda. Umum, sih. Ichi cool, Daiya serampangan. Masing-masing punya daya tarik. Dan, Fuuko ter-pingpong *ah elah istilahnya* di antara keduanya. Tapi, istilah saya nggak terlalu ngaco, soalnya Fuuko ini awalnya suka sama Daiya, terus sama Ichi, terus sama Daiya lagi.

Bagi pembaca, mungkin hal ini terlalu aneh. Tapi, kalau ngikutin kisahnya di komik, Nagamu cukup berhasil mempertahankan kelogisan kisah ini…sampai nomor belasan.

Memasuki tahap Daiya yang masih cemburu juga bahkan hingga mendekati seri 20, saya agak kesel. Tapi tinggal dikit kalo nggak diselesaikan. Saya sungguh berharap akan ada sesuatu yang berbeda di akhir. Tapi, ternyata saya harus kecewa.

Menurut saya, Fuuko tidak digambarkan cukup kuat di akhir. *mau nulis lanjutannya, nanti spoiler*
Ya, setidaknya, cita-cita Fuuko menjadi hair stylist itu menurut saya salah satu daya tarik. Seharusnya fokus ke situ. *lalu gagal romance*

Karakter tokoh yang labil mungkin wajar, karena mereka semua amsih SMA. Tapi, Daiya dan Ichi yang sempet digambarkan keren kok malah ngeselin? Kesannya, mereka melarikan diri. Hish, kesel. Dan saya baru sadar, kalo gambar yang sering saya pake dulu untuk ditambahin kata-kata, karena bagus adegannya, diambil dari komik ini. Dan gambar di komik ini memang bagus. 

ini salah satu gambar yang ternyata dari komik Parfait Tic!

Dalam komik ini juga ada kesan bahwa melakukan sex saat masih sekolah sudah lumayan dianggap biasa bagi remaja di Jepang sana. Sayang sekali. -_-"




Tuesday 10 November 2015

Pastikan Kamu Cukup Usia Saat Membaca--Ulasan Buku Aksara Amananunna karya Rio Johan




Judul: Aksara Amananunna
Penulis: Rio Johan
Editor: Pradikha Bestari
Penerbit: KPG
Cetakan Pertama, April 2014



Buku ini berisi 12 cerpen unik karya Rio Johan. Kalau ditanya kesamaan semua karyanya, secara garis besar adalah kemampuan penulisnya menyeret pembaca menuju dunia rekaannya. Seaneh apa pun kedengarannya—atau kelihatannya—pembaca bisa dibuat terbawa bahwa dunia itu benar-benar ada. Sehingga, ketika berakhir, kita baru sadar bahwa sedang berada dalam dunia fiksi.


Beberapa cerpen pertama dalam buku ini setipe, menawarkan dunia tak terbayangkan dengan akhir yang tidak mudah dilupakan. Undang-Undang Antibunuhdiri, cerpen pembuka, termasuk salah satunya.

Dibanding cerpen-cerpen lain, Aksara Amananunna menurut saya malah biasa aja—typo-nya yang luar biasa. Sama seperti Pisang Tidak Tumbuh di Atas Salju. Tapi, yang disebutkan terakhir masih memberi pengajaran bahwa tidak apa-apa mengambil tindakan yang tidak sebagaimana umumnya. “Apa Iya Hitler Kongkalikong dengan Alien?” menurut saya malah seperti lelucon. Ending-nya tidak semenarik cerpen-cerpen lain, seperti Tidak ada Air untuk Mikhail, misal.

Kevalier D’orange tentang kekuatan gunjingan. Orang-orang penasaran dengan jenis kelamin Kevalier D’Orange. Dia seorang Kevalier, loh. Sudah memimpin banyak pertempuran dan menang. Masak, sih, cewek? Tapi, dia misterius banget, loh. Kamarnya nggak boleh dimasukin siapa pun dan mukanya kelewat cantik buat seorang cowok. *lalu teringat cowok-cowok cantik Korea* Hal yang awalnya lelucon menjadi serius. Masalahnya, ditanya pun nggak mau jawab yang serius. Jadi, sebenarnya dia cewek atau cowok? (˘ε ˘)
Temukan jawabannya di akhir cerpen.

Ginekopolis merupakan imajinasi yang ruwet. Seandainya dunia didominasi wanita saja, atau pria saja, seperti apa jadinya? Saya membayangkan lingkup dunia yang lebih kecil saat membaca cerpen ini. Seperti rumah tangga. Siapa yang lebih mendominasi, dan bagaimana jadinya?

Ketika Mubi Bermimpi Menjadi Tuhan yang Melayang di Angkasa juga menarik. Sebenarnya, kamu sedang bermimpi atau tidak saat ini? Kadang, saat mimpi lebih indah dari kenyataan, kita jadi memilih lebih meyakini mimpi.

Ada tiga cerpen khas yang menyentil tentang dunia seksualitas yang mungkin belum kita ketahui dalam buku ini. Komunitas, Riwayat Benjamin, dan Robbie Jobbie. Saya juga cuma pernah tau segelintir. Misal, kalau ada orang-orang yang suka melakukan hal-hal dalam Komunitas, walau nggak kebayang bakal ada yang menampung dan memfasilitasi sebegitunya. Riwayat Benjamin langsung mengingatkan saya pada adegan sebuah film—yang sayangnya saya lupa judulnya—karena adegannya sama-sama dari belakang *lah* dan di taman cenderung kebun sekitar rumah zaman dulu *et buset*. Efeknya bagi yang melihat pun sama-sama besar. Saya sudah curiga dari awal, sih. Waktu saudagar itu mengelus2 pipi Benjamin. Hih! Nah, kalau yang Robbie Jobbie, saya bener-bener baru tau kalau ada model orang yang menikmati beginian. Ending-nya logis, nih.  Saya suka ketiganya…tapi ini nggak mau dikasih tulisan peringatan 21+ gitu, tah?

Saya menulis semua itu sebelum membaca cerpen terakhir, Susanna, Susanna!.

Begini, masing-masing orang memiliki tahapan untuk mencerna sebuah kisah. Dan masing-masing orang memiliki tahapan-tahapan juga untuk dapat mengambil hikmah dari sebuah kisah. Dan kisah yang terakhir ini bisa saya cerna tapi tidak bisa saya tangkap hikmahnya. Buat yang tertarik dengan isu LGBT, kisah ini mungkin menarik. Bagi saya, terlalu seronok. Seperti membaca stensilan—atau menonton AV, yang bukan biasanya pula—pada beberapa bagian. Dan ending-nya pun hanya seperti itu. Saya tidak suka. Apalagi, di tengah-tengah persidangan, ada adegan dagelan antara pelacur dan Pak Hakim. Tentu saja, setting sosialnya dipilih kalangan pelaut, yang terkenal serampangan, dan setting waktunya juga memungkinkan adegan itu, mungkin. Tapi, tetap saja, cerpen terakhir ini tidak memberi banyak hikmah atau pemikiran baru atau pemikiran lain, setidaknya bagi saya.

Dan, kenapa cerpen itu masuk ke dalam kumcer ini? Jika tiga cerpen sebelumnya masih bisa saya maklumi—dan saya bahkan menyarankan peringatan 21+—tapi tidak dengan cerpen ini. Saya tau ada yang suka dengan cerita model demikian, tapi bukankah biasanya sudah ada warning, semacam penanda, bahwa isinya akan demikian? Kumcer ini, yang diterbitkan KPG, seakan berbicara tentang karya sastra umumnya, berbicara kritik sosial dan semacamnya. Mungkin ada kritik terselip dalam cerpen terakhir, tapi… bagi saya, sudah keburu tenggelam dalam lautan berahi yang dipaparkan demikian gamblang.

Saya jadi teringat, sebagian orang tua masih melarang anak-anak mereka untuk membaca komik atau bahkan novel. Karena tidak berguna, atau bahkan bisa membentuk kepribadian yang buruk. Awalnya, bagi saya tidak masuk akal pemikiran demikian. Tapi…, sebenarnya tentu saja ada benarnya. Tergantung, bacaan seperti apa yang dilahap anak-anak Anda? Apakah sudah sesuai dengan umurnya, atau mungkin lebih tepat jika dikatakan, apakah sudah sesuai dengan daya tangkapnya?

Pada usia tertentu, hal-hal yang diterima otak demikian meraja, salah satunya dari lagu, bacaan, game, pola pikir kawan, dan sebagainya. Jika…, jika buku ini dibaca oleh anak yang belum paham…saya hanya khawatir. Karena, rasa penasaran biasanya berkuasa pada jiwa anak muda.

Mengenai penilaian, sejujurnya, typo yang muncul seharusnya tidak sepanen ini pada buku terbitan penerbit sekaliber KPG membuat saya mengurangi satu bintang. Apa editornya nggak fokus karena terlarut dalam ceritanya? *halah* Jadi, bukan salah penulis sepenuhnya mungkin, tapi tetep aja, yang saya nilai adalah wujud buku yang saya pegang, dan typo termasuk di dalamnya. Bukan typo-typo sederhana saja. Kalau nggak percaya, baca, deh. :D

Ditambah cerpen terakhir, membuat saya langsung menurunkan satu bintang. Cerpen serupa ini memang bukan selera saya. Seperti saya yang sampai saat ini belum sanggup membaca tuntas Cantik Itu Luka-nya Eka Kurniawan karena terlalu banyak adegan hosh hosh *istilah apa pula ini* di awal... cuma kuat sekitar 100-an halaman. 


Padahal, biasanya saya satu selera dengan Mas Dion, tapi ternyata pendapat kami kali ini berbeda. Jika menurutnya cerpen terakhir paling menarik, bagi saya justru paling nggak, deh. 


Kalo menurut kamu?
Etapi..., pastikan kamu sudah cukup dewasa untuk membaca.


Pages