Entri Populer

Friday 27 February 2015

Ulasan Komik Bercermin pada Akhlak Nabi karya Hady Sumarna





Komik ini berisi hadits yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada tokoh khusus dalam komik ini. Semuanya beda-beda. Bener-bener kejadian sehari-hari yang bisa dialami di rumah, tempat bekerja, kafe, jalan, masjid, tempat konser, kecuali sekolah. Nggak ada setting  sekolah di komik ini.

Lagi, seperti kebanyakan komik lain, penulisannya tidak terlalu diperhatikan. Kata-kata seperti di gundul, di deketin, kesini, jadi hal yang wajar ditemukan. Saking wajarnya, ya jadi biasa aja nemu begitu di komik. Padahal, akan lebih baik kalo mendapat perhatian lebih, biar yang baca terbiasa dengan penulisan yang baik dan benar.

Oke, cukup untuk penulisannya. Karena ini komik, ayo konsen ke gambar dan isi.

Gambarnya sudah lumayan. Tapi di halaman 141 kayak ada satu lembar karya orang lain yang nyelip. Soalnya, keliatan banget beda jenis gambarnya. *oke, ini su’uzhan. Biasanya, saya iseng2 ngetwit ke pembuatnya, sih. /(>o<")\

Dan..., pembuatnya sudah konfirmasi. Lewat Twitter. Juga lewat komentar di bawah. Ngahahahah... Tulisan di atas emang kesannya tuduhan njiplak, yak? *ckckck, ampon, dah*

Padahal, maksud saya, kadang memang ada pembuat komik memang nyelipin karya asistennya.... Nah, saya kira Mas Hady juga begitu. Ternyata itu karya dia juga, yang model manga. *maafkan... (=.=")

Dari segi isi, karena isinya random banget, jadi bisa menjangkau semua tempat dan kalangan. Mulai dari pengemis, mahasiswa, sampai calon presiden. Beberapa isinya “ngena” banget.
Saya akan mengambil contoh hadits di halaman 46.

Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Malanglah ia, malanglah ia, malanglah ia. Yaitu, seseorang yang hidup cukup lama menyaksikan hari tua ibu-bapaknya, tetapi ia gagal memperoleh surga (dengan jalan mengkhidmati mereka).” (HR. Muslim).

Cerita yang menyertai hadits ini tentang anak perantauan yang kemudian menjadi terlalu sibuk, terlalu penting, bahkan untuk sekadar meladeni telepon dari orang tua.

Saya termasuk orang perantauan. Memang nggak seekstrem tokoh di komik ini. Tapi, tetep aja, ada saat-saat saya merasa bahwa apa yang saya lakukan di perantauan lebih menyenangkan daripada meladeni orang di rumah. (T-T”)
Yang pernah merantau pasti juga pernah merasakan hal yang sama. *maksa* 

Hal lain yang menarik dari komik ini saya temukan di halaman 88. Seorang anak cewek dimarahin ayahnya karena pulang jam 10 malem. Emosi, anak cewek ini apdet status di akun Fb-nya. Yang bikin agak shock adalah isi statusnya yang nggak banget. Apalagi dia pake jilbab. 

Di sisi lain, ini kenyataan. 

Ada anak-anak seperti ini di sekitar kita. Namanya juga anak muda, ngerasa semua yang dia lakukan benar, ngerasa terlalu dikekang, dan seterusnya. Dan media sosial adalah diary terbuka. 

Kita bisa menulis apa saja. Orang bisa berkomentar apa saja.

Bagian ini memberi banyak pelajaran bagi yang membaca.
Bahwa emosi sesaat memang mengerikan. Maka wajar jika dikatakan orang yang kuat adalah yang dapat menahan amarah.
Bahwa media sosial memang sebaiknya digunakan dengan bijak.
Nggak perlulah semua orang tau masalah dalam hidup kita. Lagian, tempat terbaik untuk curhat tetep Tuhan.

Tapi, hadits yang disampaikan di akhir kisah ini malah susah saya pahami. Seakan nggak cocok dengan kisah yang dijabarkan.
Berikut ini haditsnya.


Abdullah Bin Amr menuturkan, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya, yang terbesar dari dosa-dosa yang besar ialah orang yang memaki (mengutuk) kedua ayah bundanya.” Ketika ditanya, “Bagaimana seseorang mengutuk ayah bundanya?” Rasulullah Saw. menjawab, “memaki ayah orang lain, lalu dibalas ayahnya yang dimaki. Dan, memaki ibunya orang lain, lalu dibalas ibunya dimaki.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kalau hadits itu dipotong pada kalimat pertama, saya masih paham, karena sesuai dengan kisah yang diceritakan. Tapi, kelengkapan hadits itu justru membingungkan, karena tidak klop dengan kisah yang disampaikan sebelumnya.

Selain tentang cewek yang curhat di medsos itu, hal lain yang menarik di komik ini saya temukan di halaman 126. Judulnya: 7 Golongan yang Dinaungi Allah. Biasanya—demikian pula dalam komik ini di halaman sebelum-sebelumnya—kalau judulnya begitu, akan ditunjukkan sesuai dengan judulnya, yaitu 7 orang yang dinaungi Allah. Tapi, di bagian ini justru kebalikannya. 

Misalnya:
1. Pemimpin yang adil, contoh yang diberikan pemimpin yang curang. 

2. Pria yang diajak selingkuh tapi takut karena Allah, contoh yang diberikan justru cowok yang bilang, “Kamu nggak usah takut, …. Toh suamimu juga ga tau, kan,” ke cewek yang dia ajak selingkuh. 

3. Orang yang bersedekah diam-diam, contoh yang diberikan justru pemberian santunan yang diliput stasiun TV.

Karena sebelumnya contoh-contohnya masih normal, di bagian ini saja jadi baca ulang judulnya. Kok contohnya aneh-aneh? Pikir saya. Ternyata, pembuatnya memang sengaja memberi kebalikan dari 7 golongan orang yang dinaungi Allah.

Ada beberapa hadits yang menurut saya kurang pas contohnya.
Misalnya, di halaman 140.

Ibnu Umar menyatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Sejahat-jahatnya dusta adalah bila seseorang mengaku kedua matanya melihat sesuatu yang tidak dilihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tapi, kisah yang menyertainya adalah tentang dua orang pemuda yang sedang nongkrong. Salah satu dari dua pemuda itu melihat seorang perempuan seksi. Dia sudah memberi tahu temannya, tapi temannya tidak percaya dan tetap sibuk dengan HP. Ketika cewek itu sudah jauh, baru si pemegang HP sadar jika dia baru saja melewatkan “pemandangan”. Nah, di sinilah dia berbohong kepada temannya dengan berkata, “Gue ga kecewa, tadi juga gue liat, kok!”

Saya yang memang awam jadi berpikir, “Lah, dusta begini di mana jahatnya…?”


Begitulah.
Selain beberapa hadits lain yang sulit saya pahami—mungkin, karena ketidakcocokan hadits dan kisah yang dipaparkan—pergantian posisi hadits dan kisah di komik ini juga sempat membingungkan. Di awal sampai halaman 50, hadits disampaikan lebih dulu, baru kemudian kisah. Tapi, tiba-tiba berganti. Kisah dulu, baru hadits. Ini memerlukan penyesuaian membaca. 

Tetap saja, saya mendukung komik sebagai salah satu media untuk menyampaikan ajaran kebaikan. 

Semangat, para komikus Indonesia….
(ˆˆ)



Friday 13 February 2015

Ulasan buku Lukisan Dorian Gray karya Oscar Wilde



Saya sampai bingung mau mulai membahas buku ini dari segi apa.
Kalau ceritanya, mungkin banyak yang sudah tahu. Bahkan, menonton filmnya.

Belum? Oke, begini kisah singkatnya.




Dorian Gray adalah seorang pemuda tampan ranum *haish* yang memesona. Salah satu orang yang terpesona adalah Basil Hallward, seorang pelukis terkenal. Saat sedang menjadi model lukisan sahabatnya inilah, Dorian yang baru berusia 19 tahun ketika bertemu Lord Henry Wotton.

Lord Henry yang mengajak Dorian berbincang agar tidak jenuh ketika sedang menjadi model Basil ternyata memberi pengaruh besar pada pola pikir Dorian muda. Dia yang masih be;um sepenuhnya terbentuk mulai tertarik dengan pola pikir yang ditawarkan Lord Henry untuk menikmati dunia. Tapi, ada satu hal yang tidak bisa dilawan siapa pun selain kematian yang niscaya: menjadi tua.

Dorian yang tampan perlahan juga tentu akan menjadi tua. Benar kata Lord Henry, dia memang bersinar karena masih muda. Tapi, berapa lamakah ketampanannya ini bertahan dalam kemudaan? Saat melihat ketampanannya pada lukisan Basil, Dorian sadar bahwa dia tidak ingin kehilangan ketampanannya, kemudaannya. Dia khawatir. Sungguh khawatir.

 
Nih, adegan Dorian pas di film...



  “Seandainya ada cara! Seandainya aku bisa tetap selalu muda, dan seandainya lukisan ini saja yang menua, bukannya aku! Seandainya bisa begitu, seandainya bisa seperti itu—aku rela memberikan segalanya. Ya, tidak ada hal lain yang kuinginkan di dunia ini melebihi keinginanku tersebut.”—p. 53


Dan, ternyata keinginannya itu terwujud. Saat menyadari bahwa perubahan tidak akan menyerang jasadnya, tetapi justru menyerang lukisan itu, Dorian merasa benar-benar hidup. Biasanya,  “jejak-jejak perbuatan dosa atau tanda-tanda perjalanan usia” (istilah Oscar Wilde, bagus yak >_<) akan tampak pada fisik manusia, tapi hal itu tidak berlaku bagi Dorian. 

Hal itu seperti tiket emas baginya untuk menikmati hidup, seakan tidak akan pernah tua. Semua bentuk kesenangan dia coba. Toh wajahnya akan tetap muda, lugu seperti tanpa dosa. 

Sementara, lukisan itu semakin menunjukkan jiwanya yang sebenarnya. Semakin lama semakin mengerikan. Apa yang akan dilakukan Dorian saat melihat wajah jiwanya yang sesungguhnya?

***

Belum lama ini, saya membaca kumcer Kompas yang berjudul Smokol. Di sana ada kutipan menarik. Ulasan lengkapnya bisa ditengok di sini.


Di surga kita akan kenyang, terlalu kenyang untuk menginginkan. ….”—p. 8


Nah, yang dialami Dorian ini seperti kebalikannya. Dia pasti sudah kenyang melakukan dosa, lalu apa? Apa lagi yang bisa dilakukan seseorang setelah tidak ada lagi hasrat terhadap apa pun? Kehampaan, mungkin.


Sepertinya buku ini hanya bercerita tentang Dorian, pemuda galau yang mendapat masukan pemikiran dari seseorang yang ternyata berpengaruh besar pada pola pikirnya. Tapi, sebenarnya banyak sekali pelajaran hidup di dalamnya.

Dan persis seperti yang Oscar Wilde bilang melalui Basil, bahwa ketika seseorang membuat karya maka sebenarnya dia sedang menunjukkan jiwanya melalui karya tersebut. Basil khawatir jika Dorian dan dunia menyadari kekaguman Basil kepada orang yang menjadi model lukisannya itu. 

"Bukan si model yang disingkap oleh sang pelukis, tetapi si pelukislah yang tengah mengungkapkan jati dirinya lewat sapuan berwarna di atas kanvas."—p. 16

Singkatnya, Basil khawatir jika ketahuan jatuh cinta pada Dorian. Hal ini juga berlaku pada tulisan. Sebuah novel atau cerpen biasanya digunakan sebagai media untuk menyampaikan pemikiran penulisnya, kan? Atau, kadang sebagai media curhat. Tapi tetap saja, sedikit banyak, ada sebagian dari diri pembuat yang disebarkan melalui karyanya.

Tapi, di bagian Pengantar Penulis, Wilde justru bilang begini: 

Sesungguhnya, seni lebih merupakan pantulan dari para penikmatnya, alih-alih pantulan dari kehidupan.—p. 8

Wah, wah, apaan nih?
Eits, tapi ini juga bener. 

Ketika selesai membuat sebuah karya dan melepasnya untuk dikonsumsi publik, pelukis atau penulis akan melepas karya tersebut bersama sebagian jiwanya (pemikiran, curhat, dlsb.) tadi. Tapi, masalah mau diterima atau tidak bagian pemikiran atau curhat sang pembuat oleh sang penikmat adalah lain hal.

Hal ini terkait dengan latar belakang manusia yang sangat beragam.
Misal, Basil khawatir lukisan itu mengungkap rasa cintanya pada Dorian. Padahal, Dorian yang melihatnya hanya terfokus pada keindahan fisiknya yang begitu sempurna. Berarti, sebagian jiwa Basil yang dia sebarkan melalui lukisan itu tidak sampai kepada Dorian.

Misal lain, kamu menulis cerpen dengan harapan si gebetan yang membacanya akan tersindir, terus nembak.


 
Ternyata, dia malah ngasih buku itu biar dibaca gebetannya. 









(∥ ̄■ ̄∥) *gagal transfer kode ganas* *nyari bahu Al Ghazali buat bersandar*


Saat sebuah karya sudah dibaca penikmatnya, di sinilah kalimat Oscar Wilde tadi berlaku. Bahwa seni merupakan pantulan dari penikmatnya.

Ini kurang lebih sama dengan teori berbahasa, sih.
Bahwa pesan dari sang pengirim belum tentu sama dengan pesan yang diterima sang penerima.
Itulah kenapa berbahasa pun perlu ada ilmunya. Itulah kenapa kehidupan ini rumit. *mulai meluas* *mending dihentikan sekarang*


Hal lain yang bisa dibenarkan adalah pengaruh orang-orang sekitar terhadap kita. Berikut kutipan dari buku ini.

"Karena dengan mempengaruhi seseorang berarti kau telah memberikan satu jiwa yang baru kepadanya. Dia tidak lagi berpikir sebagaimana dirinya, atau tidak digerakkan oleh semangat alaminya. Perilakunya bukanlah perilakunya. Dosa-dosanya—jika memang ada yang namanya dosa—adalah pinjaman."—p. 37



kalo merah berhasil memengaruhi biru, maka warna biru akan jadi sedikit ungu...
gitu kira-kira...


Itu salah satu kalimat ngaco dari Lord Henry. 
Saya sepakat pada dua kalimat awalnya. 
Iya, dengan memengaruhi seseorang, orang itu tidak akan berpikir sama lagi. Ada pemikiran baru dalam dirinya. Tapi, perilakunya tetap perilakunya. Dan dosanya, bukan pinjaman. 

Saat membaca kalimat itu, saya teringat banyak hal. Berapa buku yang sudah saya baca, berapa orang yang sudah berdiskusi dengan saya, berapa banyak hal yang saya dengar dari orang-orang di sekitar, hingga berapa banyak gaya hidup saya yang dihasilkan sekarang yang merupakan hasil dari pengaruh kedua orang tua mendidik saya ketika kecil.


 

Itulah kenapa tanggung jawab menjadi orang tua begitu besar. 
Pengaruhnya bisa jadi melekat seumur hidup si anak.



 
Dalam kasus di novel ini, Dorian begitu terpengaruh oleh kata-kata Lord Henry. Saya awalnya berpikir, hei Dorian itu sudah 19 tahun. Seharusnya dia bisa berpikir mana yang baik dan tidak. Tapi, benarkah semudah itu?
Berikut kutipan lain di buku ini terkait pengaruh dan kata-kata.

Betapa mengerikannya kata-kata! Begitu jelas, tegas, dan keji! Tidak ada yang bisa lolos dari kata-kata. Sungguh, sihir gaib apa yang ada di dalamnya? .... Adakah sesuatu yang lebih nyata dibanding kata-kata?—p. 40-41

Adakah sesuatu yang lebih nyata dibanding kata-kata?

Berapa kali kalian melakukan sesuatu karena pendapat orang lain? Karena kata-kata?

“Rambutnya kok dipotong pendek?”

Kalimat sederhana. Bisa saja tujuannya sekadar bertanya. Basa-basi, bla-bla-bla. Tapi, efeknya?

Bisa jadi, kita kepikiran. Apa jangan-jangan kependekan, ya? Atau, hasilnya jelek? Atau, sebenarnya dia malah sirik?

Bisa jadi, kita ambil tindakan. Nyambung rambut atau mungkin manjangin rambut dan nggak mau potong pendek lagi. Atau justru potong rambut pendek terus sebagai bentuk protes bahwa kita nggak terpengaruh kata-kata orang itu. Tapi, tau nggak, itu juga nunjukin kalo omongan orang itu berpengaruh ke kita.


Jadi, gimana caranya nanggepin omongan orang? 


Disaring.
(mungkin)

Dorian mungkin awalnya berusaha menyaring omongan Lord Henry, tapi ternyata saringannya kurang kuat atau mungkin omongan Lord Henry yang kelewat kuat jadi saringan Dorian pun koyak. Jadilah omongan Lord Henry berpengaruh ke dia.
Nggak perlu semua omongan orang kita masuk-masukin ke otak, apalagi hati. Denger kalo perlu didenger, lalu saring intinya. *ngambil ayakan*


Hadew, jari kriting. *intermeso*


Kurang sip ya contohnya? Oke, ganti pertanyaan, yang umum ditanyain orang pas lagi resepsi nikah.

“Kapan nyusul? Udah punya calon belum?”

Efeknya? Tanya pada diri masing-masing, coba…. *dilempar sanggul*



Tapi, yang perlu diingat, balik ke topik, nggak ada itu dosa pinjaman. Dorian pun sebenarnya tahu yang dia lakukan salah, tapi dia selalu melarikan diri atau menimpakannya kepada orang lain. Kepada leluhur-leluhurnya (di bab 9 yang ampun buset bacanya). Kepada Basil. Siapa pun dia salahkan. Kecuali dirinya. Iya, pelarian. Ketakutan melihat apalagi mengakui kesalahannya sendiri. Ini pun membuat kita kembali berkaca… *sampe sini, ada yang bilang, “Hah? Kita? Lo aja keleus…”? Oke, pake saya aja, deh* Saya berkaca. Berapa kali saya menuding orang yang bertanggung jawab atas kesalahan yang saya lakukan?




"Salah dia!"
Telat masuk gara-gara nggak dibangunin. Yang salah berarti nyokap.

Telat ngumpul sesuai DL gara-gara kebanyakan kerjaan. Yang salah berarti atasan. 

Dan seterusnya. 
Dan seterusnya.

 
Hal lain yang saya temukan di buku ini adalah pandangan tentang wanita. Secara singkat, menurut saya sepertinya Oscar Wilde merasa kalau wanita itu ribet. 

Berikut kutipan lain yang menarik di buku ini. Sisanya saya hapus, karena hari sudah sore dan saya sudah kenyang dengan omongan Lord Henry. *puk2 otak*

Pengakuan kitalah, dan bukannya maaf dari pendeta, yang membebaskan kita dari rasa bersalah.—p. 125


Pokoknya, saya suka buku ini. walaupun banyak dialog berat, tapi sungguh menarik. 

Ah, jadi inget. Kenapa saya bilang pasti banyak yang bahas buku ini dari segi psikologi sastra? Karena tokoh-tokohnya memang menarik. 

Lord Henry, misalnya, saya rasa sebenarnya iri kepada Dorian. Ada sesuatu hal dalam diri Dorian yang tidak dimilikinya, dan tidak akan dapat dimilikinya seberapa kuat pun dia berusaha. Karena itu, dia menggiring Dorian ke jalan yang akan dia tempuh seandainya memiliki anugerah ketampanan seperti Dorian.  Tentu saja Lord Henry cerdas, dan memiliki pesona tersendiri, seperti halnya Hannibal Lecter yang sama-sama suka menganalisa manusia.








Sybil Vane, Alan Campbell, Basil Hallward, dan Dorian Gray juga punya banyak hal yang bisa diulik dari sisi psikologi.


Nah, sekarang minusnya. Selain sedikit masalah editing, saya juga menemukan beberapa pemenggalan kata yang keliru di buku ini. Misalnya: Menin-ggalkan—p. 14, ket-akutan—p. 19, har-us—p. 44. Semoga kalo buku ini cetak ulang, diperbaiki dulu.

Terkait footnote, saya penasaran. Di halaman 183, misalnya, kenapa Dante dikasih keterangan, sementara Gautier nggak? Kemungkinan karena penerjemahnya sudah tau Gautier.
Tapi, saya nggak tau.
( T ▽ T )


Begitu ajalah.
Buku ini pun saya yakin merupakan gambaran sebagian jiwa si Oscar Wilde, pembuatnya. Dan sekarang menjadi pantulan dari saya, si pembaca.
Yang dia kirim, belum tentu sama dengan yang saya terima. Belum tentu sama pula dengan yang kamu terima setelah kamu membaca buku ini. 

Tidak masalah. Justru di situ menariknya. Ahahahahahah….
*<(。≧∀≦)
Sebagai penutup, ini kutipan lain dari Oscar Wilde:

Tidak ada karya seni yang berguna.—p. 8

Apa pula maksudnya itu…? 
*gagal tenang*

( ̄~ ̄;)







Sumber gambar:
Cover buku, Dorian dan lukisan, imajinasi, gebetan dan gebetannya, warna pendapat, blablabla, saring blablabla, menuding, Lord Henry, Hannibal, Bingung.


Wednesday 11 February 2015

Cinta dan Sikat Gigi ala Dewi Lestari

Ada sebuah cerpen yang meninggalkan bekas cukup dalam di memori saya. Cerpen Dewi Lestari (Dee) yang berjudul “Sikat Gigi”. Cerpen ini saya temukan pertama kali dalam buku Filosofi Kopi keluaran penerbit Bentang.





Cerpen ini bercerita tentang cinta kepada seorang sahabat. Tentang cinta Tio kepada Egi yang mencintai cowok lain.



Aku mencintai Egi. Egi mencintai pria lain, yang menahun sudah membiarkannya terkatung-katung.—p. 63



Saking cintanya sama cowok lain itu, Egi sampai memerlukan sikat gigi untuk tidak memikirkannya selama beberapa menit. 

Cinta seperti apa sih yang membuatnya begitu buta? Begitu pikir saya.


Kejengkelan saya kepada Egi kurang lebih sama dengan yang dirasakan Tio. Kejengkelan yang muncul juga ketika mendengar curhat tanpa akhir seorang teman wanita yang disakiti oleh laki-laki yang itu-itu saja.


Aih, banyak banget kan sebenarnya cerita begini? Terus, apa spesialnya? 



Karena penceritaannya tentu. Dan alasan awal mereka menyadari perasaan masing-masing justru karena hal yang tampaknya sepele, sikat gigi.





Lalu, ending-nya.



Setiap kali aku duduk di sofa dan memandangi Egi yang asyik menyikat gigi, ketakutan itu kadang-kadang datang. Ketakutan kalau suatu hari aku terpaksa harus menariknya pulang dengan paksa, dan sikat gigi tak mampu lagi menjadi tiketnya.—p. 66



Berapa dari kita yang pernah mencintai orang yang pernah sangat mencintai orang lain? 





Kekhawatiran yang digambarkan itu jadi terasa masuk akal, kan?





Kadang, perasaan khawatir datang. Jangan-jangan, bayangan mantan atau orang yang dicintai kekasih kita itu datang. Lalu, kekasih kita memutuskan lebih memilih dia dan kita jadi tersingkir. Apa saja mungkin bisa membangkitkan kenangan tentang mantan. 
Prambanan, ketan yang digoreng, Lagu “Cinta dan Benci”-nya Geisha, merek motor, warna helm…. Banyak hal. 
Eits, ini bukan curcol, loh. Beneran bukaaan…. *malah makin mencurigakan*


Begitulah. Cerita dalam cerpen ini sebenarnya sederhana, dan mungkin sudah banyak dibahas: cinta.

Tapi, Dewi Lestari berhasil menyampaikannya dengan cara unik dan menarik.
(^-^)



Tumben kan, saya bahas cerpen? Tulisan ini dalam rangka ikutan #KisahKasihFavoritku yang diadain Bentang Pustaka. \('')/



Sumber gambar:
sikat gigi
telur
hati

Pages