Entri Populer

Monday 27 April 2015

New Author Reading Challenge Progress Update

Bulan April ini suram banget blog saya.
Cuma baca satu buku, dan bukan new author bagi saya, jadi nggak bisa masuk sini, huaaa... :'(
Biasa, semangat menurun.

Tiba-tiba, dapet email cinta dari Mbak Ren. Ngingetin tentang New Author Reading Challenge 2015 yang saya ikutin. (psssttt, semangat ikut, soalnya nggak wajib review. Ahahahahah.... :D)

Duh, jadi malu.
Oke, ini dia rekapan perdana. Dari Januari sampe April--harusnya. Hiks.

Karena baru pertama kali ikut challenge begini, beraninya ikut level Easy (1-15 buku dalam setahun)
Kategori tambahan: What's in A Name dan Support Local Author.
1. Lord Loss - Darren Shan (Januari)
2. Sabtu Bersama Bapak - Adhitya Mulya (Januari) -- Support Local Author
3. Leafie - Hwang Sun-mi (Januari) -- What's in A Name
4. Fleur - Fenny Wong (Januari) -- Support Local Author
5. Pengantin Al-Qur'an - M. Quraish Shihab (Januari) -- Support Local Author
6. Benabook - Benazio Putra (Januari) -- Support Local Author
7. Seperti Bintang - Regina Feby (Februari) -- Support Local Author
8. Lukisan Dorian Gray - Oscar Wilde (Februari) -- What's in A Name
9. Cinta yang Hilang - O. Henry (Februari)
10. Harta Karun Rumah Menara - Franklin W. Dixon (Maret) 
11. All These Live - Arleen. A. (Maret) -- Support Local Author
12. Suami Sempurna - Nurul F Huda (Maret) -- Support Local Author
13. Koala Kumal - Raditya Dika (Maret) -- Support Local Author
14. How to be Interesting - Jessica Hagy (Maret)
15. Kismet - Nina Addison (Maret) -- Support Local Author





Nah, ternyata tantangan tambahan Support Local Author sudah terpenuhi.
Sementara, yang What's in A Name baru 2, kurang 4.

Aye, naik level, ah, ke Middle (15-30 buku setahun).

Semoga Mei bisa kembali berkobar.
Amin.
n(^-^)n

Wednesday 22 April 2015

Amanat, Unsur Intrinsik yang Kian Tersisih



Banyak orang yang rela melakukan berbagai cara agar terkenal.
Atau, (merasa) terkenal.

Ketika pemilihan presiden, melihat beberapa nama pebisnis, saya heran. Apa lagi yang mereka cari? Harta pasti sudah bertaburan…. Ketika saya diskusikan dengan suami, jawabnya karena mereka ingin tercatat dalam sejarah.
Ah, benar juga.


Harta sudah ada.

Wanita otomatis mendekat.

Tinggal tahta yang perlu dikejar.





Agar semakin banyak yang mengenal, mengagumi, menghamba.


Bukan cuma di dunia politik. Di dunia sastra pun demikian.
Kasus yang sampai sekarang buntutnya masih panjang ya seputar nama salah seorang yang nyantol sebagai salah satu dari 33 sastrawan dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang kontroversial.  


Lalu, apa kaitannya dengan judul celotehan ini?
Tulisan ini memang mau saya gunakan untuk menyinggung para penulis pemula.




Ada banyaaak cara agar tulisan atas nama kalian tercetak.


Jalan paling cepat, ya cetak sendiri. Baca sendiri.
Jalan lain, berakrab rialah dengan pemilik penerbit.
Jalan lain lagi, pacaran dengan penulis beken.

Ada banyak cara.
Apa pun cara yang kalian ambil, terserahlah.

Tapi, setidaknya, pastikan tulisan kalian itu berguna.


Nggak usah jauh-jauh dulu, berharap tulisan kalian menginspirasi kehidupan orang lain, misal. 
Tapi, coba tanyakan:



Apakah tulisan kalian memberi pengetahuan baru bagi pembaca?



Misal, cerita tentang orang pacaran. 

Sita, cewek 16 tahun, pacaran dengan Rama, cowok 17 tahun.
Mereka bertemu pertama kali ketika Rama tanpa sengaja menabrak Sita yang sedang membawa tumpukan buku. Lalu, Sita yakin bahwa Rama adalah jodohnya. Seperti halnya Rama yang yakin bahwa Sita adalah jodohnya. See? Pikiran mereka aja sama. Mereka pasti jodoh.

Setelah pertemuan-pertemuan tanpa sengaja yang sepertinya sudah sangat diatur oleh benang takdir. Di mana ada Sita, nggak sengaja liat Rama. Saat Rama ada di mana-mana aja, nggak sengaja ketemu Sita. 

“Hah? Dia lagi? Sudah pasti dialah jodohku.” Begitu yang ada dalam pikiran mereka.

Setelah itu, Rama tiba-tiba menghilang. Dan Sita pun merasa seperti butiran debu di lirik lagu Rumor. 

Sita pun mulai bangkit berkat bantuan Wana. Ketika mulai merasa bisa jatuh cinta pada Wana, ternyata kenyataan tentang Rama terungkap. Rupanya, Rama menjauh karena mengidap penyakit mengerikan yang akut. Penyakit apa ajalah, pokoknya yang bikin meninggal dalam kurun waktu tertentu. Banyak banget ini pilihannya, yang sudah hafal, boleh mulai menyebutkan di komentar.

Sita pun menyesal meragukan cinta Rama. Tapi, dia akhirnya merelakan kematian Rama. Karena sudah ada Wana di sampingnya.

Gimana?
Ide cerita itu dahsyat, kan?
Ngahahahahah…. *lalu dibegal*


Saya memang nggak terlalu suka romance menye-menye. Tapi juga bukan berarti anti. Yang mengerikan adalah jika ide naskah di atas dieksekusi dengan fokus di kisah cinta Sita-Rama-Wana saja.
Karena kalau demikian, saya ingin bertanya:

“Apa yang kalian harapkan didapat pembaca dari kisah itu?”

Bahwa cinta bisa datang dari tabrakan dengan latar buku berserakan?


Bahwa cinta datang setelah diatur Tuhan melalui kebetulan-kebetulan?


Bahwa ketika seseorang pergi dari hidup kita, bisa jadi justru karena sayang sama kita? Karena dia mengidap penyakit mematikan?


Jika memang hanya demikian, menurut saya, sayang-sayang pohon yang ditebang.


Tulisan kalian akan dibaca orang lain.
Apa kalian nggak ingin memasukkan sedikit saja pengetahuan tambahan di dalam naskah itu?


buat yang cowok, coba bayangin pembaca tulisan kalian beginih...



buat yang cewek, coba bayangin pembaca tulisan kalian beginih...


Misal, Rama adalah seorang gamer.

Minimal, akan ada informasi tentang game dan gamer yang didapat pembaca.

Kalian akan bisa memberi gambaran bagaimana risiko berpacaran dengan gamer. Dan bahwa kehidupan gamer nggak melulu suram dengan stik dan layar. Mereka juga bisa langgeng pacaran. 

Kalau kalian buat Rama sakit karena kebanyakan main game, misal. Artinya, kalian ingin mengingatkan para gamer untuk lebih menjaga diri.

Kalau kalian buat Rama tetap berprestasi meski seorang gamer, misal. Artinya, kalian ingin mengingatkan agar jangan langsung merendahkan kemampuan akademik gamer. Juga, memacu agar gamer bisa seperti tokoh Rama.  

Di atas minimal sedikit, ada pesan yang ingin disampaikan oleh penulis.

Jadi, bukan sekadar cerita begini:
Pokoknya Rama gamer. Soalnya, gamer itu keren. Lalu, karena disebut gamer, Rama digambarkan sering main game. Pokoknya sering. Lalu, game yang diceritakan adalah COC. Dan 2048.

Lagi-lagi, coba tanyakan:
“Apa yang kalian harapkan didapat pembaca dari kisah itu?”



Pesan, atau amanat, adalah salah satu unsur intrinsik novel, lho.



Tapi, sepertinya belakangan semakin sering terpinggirkan.






Membanggakan memang, jika nama kita tercantum sebagai penulis. 

Tapi, jika isinya tidak berguna...?
Mungkin, beginilah nasibnya.



Nah, pesan saya, buatlah tulisan yang (setidaknya) berguna.
Sekian.




Sumber Gambar:

Bahasa Baku



Salah seorang kenalan saya pernah bertanya, “Bagaimana jika saya menggunakan bahasa baku dalam percakapan sehari-hari?”

Saat itu, dia mahasiswa baru jurusan pendidikan bahasa Indonesia di salah satu universitas di Yogyakarta. Sementara, saya mahasiswa yang sudah kelamaan ngampus di universitas lain dalam jurusan yang nggak jauh beda dengan dia.

Saya bisa saja langsung ngakak, nyeletuk menghina seperti biasanya, atau mencoba cara lain yang lebih santun, yang intinya sama: melarang.

Kenapa?
Bahasa adalah salah satu alat untuk berkomunikasi antarmanusia.
Bahasa Indonesia adalah bagian dari bahasa.
Bahasa Indonesia baku adalah bagian dari bahasa Indonesia.





Fungsi bahasa adalah untuk memperlancar komunikasi.
Kenapa ada bahasa Indonesia? Kita yang  berasal dari Lampung, Nusa Tenggara, Sulawesi, Surabaya, Jawa Barat, Banyuwangi, Balikpapan, dan daerah lain-lain yang berkumpul di Yogya butuh sarana agar dapat berkomunikasi dengan baik.

Lalu, kenapa kita semua tidak menggunakan bahasa Indonesia baku dalam kehidupan sehari-hari?
Bukankah dengan demikian, akan lestarilah bahasa Indonesia tercinta?

Oh, oh, bukannya lestari, saya khawatir justru akan kaku dan patah jika dipaksakan demikian.

Bahasa Indonesia adalah jembatan bagi semua masyarakat Indonesia dari semua kalangan sosial, ekonomi, budaya, dan bla bla bla lainnya. Jadi, memaksakan semua orang menggunakan bahasa Indonesia baku setiap saat adalah perbuatan mengerikan.

Coba kita lihat pengertian kata “baku” di KBBI.


ba·ku [1] n 1 pokok; utama: beras merupakan bahan makanan -- bagi rakyat Indonesia; 2 tolok ukur yg berlaku untuk kuantitas atau kualitas yg ditetapkan berdasarkan kesepakatan; standar;


Jadi, bahasa Indonesia baku memang adalah bahasa Indonesia yang pokok, utama; yang menjadi tolok ukur kuantitas dan kualitas penggunaan bahasa Indonesia.

Tapi, itu hanya berlaku dalam lingkup akademisi.

Jika ingin membuat makalah atau skripsi, haruslah kalian rela bersusah-susah mengakrabkan diri dengan KBBI dan EYD.


Dalam komunikasi sehari-hari?

Bahasa Indonesia baku nggak wajib digunakan, kok.



Saya cuma khawatir kenalan saya tadi suatu ketika disuguhi makanan. Lalu, terjadi percakapan demikian:


 “Kok nggak dimakan? Nggak enak, ya?”
 “Oh, bukan begitu. Hanya saja, saya menunggu dipersilakan. Setelah dipersilahkan, baru saya akan memakan hidangan ini.”


*lalu malamnya dia susah tidur karena merasa telah mengatakan kalimat terakhir yang dirasa tidak perlu. Membuat ucapannya kepada kawannya itu tidak efektif. 
*belum lagi, tadi dia pake kata silahkan (ada huruf H kececer waktu dia ngucap kata ini), dan bukan silakan. Makin susah tidur sudah.
*berabe.



(˘ε ˘)ノ’




Saya menyarankan kalian terus mempelajari bahasa Indonesia baku. Tapi untuk menunjukkan kalau kalian paham mana yang baku dan tidak, bukan dalam kehidupan sehari-hari tempatnya. 

Orang yang punya kemampuan bahasa yang baik itu bukan yang selalu pake bahasa baku, tapi yang bisa menempatkan diri menggunakan jenis bahasa apa dalam setiap situasi.
Kalo ngobrol dengan tetangga kos, misal, biar keliatan kalo kita anak bahasa Indonesia, jadilah setiap omongannya kita koreksi. Apakah itu menunjukkan kita pintar?
 
Nggak deh kayaknya.


Tapi saya mafhum, sih. Kenalan saya itu masih maba, semangatnya masih membara.
Nanti kalo udah belajar sosiolinguistik atau ketemu alih kode, campur kode, Prinsip Kerja Sama, implikatur, dan kawan-kawannya, baru akan lebih mengerti.

Jadi, bahasa Indonesia baku nggak selalu benar.
Tergantung situasi dan kondisi.
Gitu.



Sumber gambar:
1, 2, 3.

Friday 10 April 2015

celoteh tentang Misteri Patung Garam karya Ruwi Meita



Sejak melihat tiga calon kover buku ini, saya sudah tertarik. Buku ini tentang pembunuhan, jenis kesukaan saya. Jadi, tentu saja saya ikut memilih kovernya. Ahahahahah….
Setelah terbit, saya ingin cepat-cepat punya.
Begitu melihat Mini GK, salah satu teman, janjian dengan penulisnya di facebook, saya titip ke dia. Tapi, ternyata, Mini batal ikut. Dia menyarankan agar saya ketemuan saja atau langsung pesan ke penulis, toh sama-sama di Jogja. Tapi, saya malu. Saya kan pemalu. Hyakakakakak… Bukan, sih. Saya cuma lebih suka tetiba bikin ulasan aja.

Jadi, saya titip ke teman lain yang memiliki toko buku online, Moza namanya. Nama tokonya Muzapedia kalo nggak salah.

Ternyata, dia kesulitan untuk mendapatkannya di stok gudang. Sudah habis terkirim, katanya. Jadi, dia menawarkan membelikan ke toko buku, tapi dengan diskon sesuai harga toko.
Saya sepakat. Pokoknya, saya mau segera baca. 

Setelah dapat bukunya, teman saya SMS. Demikian saya ketik ulang, persis.

Harga bukunya 49.000 diskon 15% jadi 43.000 Soalnya sya ambil 1.400

Hah? Hari gini masih ada penjual model beginih…?
Saya iyakan aja segera.

Begitu ketemu langsung, saya tanya ke dia. 

“Kamu ngambil untung Cuma segitu nggak rugi?
Nggak ngambil uang bensin? Dipotong lagi aja, Za.”

Dia cuma senyum-senyum sambil bilang. “Tadi aku sekalian ada urusan, kok.”

Aish, ampon, ya sudahlah….








Begitulah kisahnya bagaimana akhirnya buku ini bisa saya dapatkan.


Tapi, setelah membaca Prolog, saya merasa harus punya waktu khusus buat baca buku ini. Kalo disambi terlalu lama, bisa-bisa gregetnya ilang. *aish istilahnya*

Dan akhirnya, malah keduluan dua temen kerja saya. Mereka sudah selesai baca.
Sampai saat ini, saya baru separo jalan. Rehat bentar sebelum lanjut baca. Perihal kenapa saya rehat, nanti saya ceritakan di bagian ulasan lengkap buku ini. 



Pages