Entri Populer

Wednesday 22 April 2015

Bahasa Baku



Salah seorang kenalan saya pernah bertanya, “Bagaimana jika saya menggunakan bahasa baku dalam percakapan sehari-hari?”

Saat itu, dia mahasiswa baru jurusan pendidikan bahasa Indonesia di salah satu universitas di Yogyakarta. Sementara, saya mahasiswa yang sudah kelamaan ngampus di universitas lain dalam jurusan yang nggak jauh beda dengan dia.

Saya bisa saja langsung ngakak, nyeletuk menghina seperti biasanya, atau mencoba cara lain yang lebih santun, yang intinya sama: melarang.

Kenapa?
Bahasa adalah salah satu alat untuk berkomunikasi antarmanusia.
Bahasa Indonesia adalah bagian dari bahasa.
Bahasa Indonesia baku adalah bagian dari bahasa Indonesia.





Fungsi bahasa adalah untuk memperlancar komunikasi.
Kenapa ada bahasa Indonesia? Kita yang  berasal dari Lampung, Nusa Tenggara, Sulawesi, Surabaya, Jawa Barat, Banyuwangi, Balikpapan, dan daerah lain-lain yang berkumpul di Yogya butuh sarana agar dapat berkomunikasi dengan baik.

Lalu, kenapa kita semua tidak menggunakan bahasa Indonesia baku dalam kehidupan sehari-hari?
Bukankah dengan demikian, akan lestarilah bahasa Indonesia tercinta?

Oh, oh, bukannya lestari, saya khawatir justru akan kaku dan patah jika dipaksakan demikian.

Bahasa Indonesia adalah jembatan bagi semua masyarakat Indonesia dari semua kalangan sosial, ekonomi, budaya, dan bla bla bla lainnya. Jadi, memaksakan semua orang menggunakan bahasa Indonesia baku setiap saat adalah perbuatan mengerikan.

Coba kita lihat pengertian kata “baku” di KBBI.


ba·ku [1] n 1 pokok; utama: beras merupakan bahan makanan -- bagi rakyat Indonesia; 2 tolok ukur yg berlaku untuk kuantitas atau kualitas yg ditetapkan berdasarkan kesepakatan; standar;


Jadi, bahasa Indonesia baku memang adalah bahasa Indonesia yang pokok, utama; yang menjadi tolok ukur kuantitas dan kualitas penggunaan bahasa Indonesia.

Tapi, itu hanya berlaku dalam lingkup akademisi.

Jika ingin membuat makalah atau skripsi, haruslah kalian rela bersusah-susah mengakrabkan diri dengan KBBI dan EYD.


Dalam komunikasi sehari-hari?

Bahasa Indonesia baku nggak wajib digunakan, kok.



Saya cuma khawatir kenalan saya tadi suatu ketika disuguhi makanan. Lalu, terjadi percakapan demikian:


 “Kok nggak dimakan? Nggak enak, ya?”
 “Oh, bukan begitu. Hanya saja, saya menunggu dipersilakan. Setelah dipersilahkan, baru saya akan memakan hidangan ini.”


*lalu malamnya dia susah tidur karena merasa telah mengatakan kalimat terakhir yang dirasa tidak perlu. Membuat ucapannya kepada kawannya itu tidak efektif. 
*belum lagi, tadi dia pake kata silahkan (ada huruf H kececer waktu dia ngucap kata ini), dan bukan silakan. Makin susah tidur sudah.
*berabe.



(˘ε ˘)ノ’




Saya menyarankan kalian terus mempelajari bahasa Indonesia baku. Tapi untuk menunjukkan kalau kalian paham mana yang baku dan tidak, bukan dalam kehidupan sehari-hari tempatnya. 

Orang yang punya kemampuan bahasa yang baik itu bukan yang selalu pake bahasa baku, tapi yang bisa menempatkan diri menggunakan jenis bahasa apa dalam setiap situasi.
Kalo ngobrol dengan tetangga kos, misal, biar keliatan kalo kita anak bahasa Indonesia, jadilah setiap omongannya kita koreksi. Apakah itu menunjukkan kita pintar?
 
Nggak deh kayaknya.


Tapi saya mafhum, sih. Kenalan saya itu masih maba, semangatnya masih membara.
Nanti kalo udah belajar sosiolinguistik atau ketemu alih kode, campur kode, Prinsip Kerja Sama, implikatur, dan kawan-kawannya, baru akan lebih mengerti.

Jadi, bahasa Indonesia baku nggak selalu benar.
Tergantung situasi dan kondisi.
Gitu.



Sumber gambar:
1, 2, 3.

2 comments:

Pages