Entri Populer

Friday 7 October 2016

The Devil’s whisper (ulasan)







Judul: The Devil’s whisper
Penulis: Miyuki Miyabe
Penerbit: Serambi
Tahun terbit: 2012; cetakan II
Tebal: 413 halaman


"Yang buruk adalah kau mencari-cari alasan untuk menjelaskan apa yang telah atau tidak kau lakukan."--p. 117

Tiga orang gadis muda yang cantik mati. Di tempat berbeda, dengan cara berbeda.

Gadis keempat, Kazuko Takagi, mulai khawatir. Mereka semua memiliki kaitan. Dia pernah memiliki kaitan dengan ketiganya. Mungkinkah dia yang berikutnya diincar?

Tapi, ketiga gadis itu tidak dibunuh. Mereka semua bunuh diri.
Benarkah seseorang bisa didorong untuk melakukan bunuh diri? Dengan cara apa?

Merasa keselamatannya terancam, Kazuko Takagi berusaha menghilang.

***

Kaitan Mamoru, seorang pemuda SMA biasa, dengan kasus tersebut adalah karena pamannya dituduh melakukan kelalaian menerobos lampu merah sehingga menyebabkan seorang gadis mati (gadis ketiga, Yoko Sugano). Rekor paman Mamoru sebagai sopir teladan selama ini seakan tidak berarti. Ia ditahan hingga proses penyelidikan selesai.

Merasa pamannya terancam menjadi tahanan, Mamoru berusaha menyelamatkannya. Ia mulai menyelidiki masa lalu korban. Dan menemukan kenyataan bahwa gadis itu pernah menjadi….

Oke, di sini ada spoiler. Kalau penasaran sama isi bukunya, silakan baca dulu.


Gadis itu, dengan tiga gadis lainnya, pernah muncul di majalah porno murahan bernama Information Channel yang hanya terbit beberapa edisi, lalu lenyap karena kalah modal. Tapi, edisi yang sedikit itu juga sudah membuat keempat gadis itu kalang kabut. Di kehidupan nyata, gadis-gadis cantik itu memiliki pekerjaan normal. Tapi, ternyata, mereka punya "pekerjaan" lain. Sebagai kekasih sewaan. Tapi, saya lebih suka menyebutnya pencinta palsu.
Penyelidikan Mamoru membawanya pada Hashimoto. Dia menipu keempat gadis itu agar mau berfoto bugil, mengatakan tidak akan memuatnya. Tapi tentu saja dia berdusta. Foto mereka terpampang, di bawahnya ada kutipan:

Kami pelacur modern: kau membayar kami untuk jatuh cinta kepadamu.

Keempat gadis itu marah, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Hashimoto berkisah kepada Mamoru mengenai keempat gadis itu.

“Aku menulis ‘kutipan’ itu di bawah foto. …. Tapi itu salah—itu tidak adil bagi para perempuan yang benar-benar mencari nafkah sebagai pekerja seks.”—p. 156

Sampai sini, Mamoru merasa menemukan titik terang. Tapi dia masih bimbang. Jika mengungkapkan kebenaran kepada polisi, keluarga ketiga gadis itu akan mengenang para almarhumah sebagai orang yang berbeda. Dan yang ditinggalkan akan menerima stempel keluarga yang anggotanya bermasalah selamanya. Dan mungkin akan menerima perlakuan tidak menyenangkan seperti yang diterimanya selama ini. (Ayah Mamoru dituduh menghilang setelah melakukan penggelapan uang. Sejak saat itu, ia terbiasa dijauhi orang-orang di kampungnya. Ibunya tidak mau pindah dari sana karena percaya suatu saat suaminya akan kembali. Sampai ibunya meninggal dan Mamoru harus ikut tinggal di rumah pamannya, ayahnya tidak pernah kembali.)

Ketika Mamoru sedang menimbang-nimbang apa yang akan dilakukan, ternyata ada kabar baik dari polisi. Ada saksi mata yang melihat bahwa gadis itu berlari kencang saat lampu untuk pejalan kaki masih merah. Kenapa dia baru muncul sekarang? Polisi kan nggak bisa sembarangan percaya, bisa aja itu saksi bayaran?

Saksi itu adalah wakil direktur perusahaan terkenal, dan sedang dalam perjalanan menemui wanita simpanannya di sekitar sana.
Nah, alasan yang diberikan untuk dua pertanyaan itu masuk akal.


Jadi, paman Mamoru bisa saja bebas.

Di saat nyaris bersamaan, Mamoru mendapat telepon dari pembunuh sebenarnya. Dia secara pribadi tertarik dan akan membiarkan Mamoru tahu bagaimana dia melakukan pembunuhan-pembunuhan itu. Dan bahkan Mamoru boleh menyaksikan proses pembunuhan kepada gadis keempat. Ketika gadis itu, Kazuko Takagi, berhasil ia temukan dari tempat persembunyian.

Malam setelah menerima telepon dari pembunuh, tiba-tiba, Maki, anak pamannya seperti kesurupan dan berkata hanya kepada Mamoru:

“Dengarkan aku, Bocah. Aku menelepon …. Begitulah cara dia mati.”

Ketika kemudian didesak Mamoru, Maki tidak ingat sama sekali atas apa yang dilakukannya barusan.

Setelah melihat apa yang bisa dilakukan pembunuh itu kepada orang lain hanya dengan suaranya, Mamoru menunggu hari eksekusi gadis keempat dengan gelisah.


***


Dan hal itulah yang membuat saya kecewa.

Namanya fenomena pascahipnotik. –p. 346

Pernah baca komik DDS (Dan Detective School)? Nah, teknik pembunuhan itu kurang lebih sama. Dengan teknik hipnotis. Seseorang memang tidak bisa dihipnotis untuk bunuh diri, jadi mereka dihipnotis untuk lari! Dan yang mendorong mereka untuk lari adalah rasa bersalah mereka sendiri.

Saya tidak tahu apakah hal ini benar-benar bisa diterapkan pada manusia untuk tujuan demikian. Tapi menurut saya masih belum.
Dan pelakunya adalah…. Yah, sudah bisa kalian tebak. Memang ada kaitannya dengan korban-korban penipuan yang dilakukan para gadis itu.

Ada misteri lain selain mengenai pelaku. Yaitu pemberi saksi yang menyelamatkan paman Mamoru. Orang itu berdusta (kalau yang ini bukan spoiler, memang sudah diceritakan sejak awal-awal). Orang itu merasa berutang kepada Mamoru, sehingga seakan sanggup melakukan hal-hal tidak masuk akal, termasuk memberi kesaksian palsu. Siapa dia sebenarnya?

***

Novel ini saya rasa aslinya tebal. Karena ada kehidupan SMA dan kehidupan kerja Mamoru, selain kisah-kisah tersebut. Belum lagi kaitan-kaitan dengan masa lalu Mamoru.

Tapi, yang paling menarik bagi saya dalam novel ini ternyata bukan misteri pembunuhannya, melainkan pekerjaan keempat gadis itu.
Salah satu gadis itu bertanya:

“Aku tidak mengerti. Mengapa dia harus bertindak sejauh itu? Beri tahu aku! Apakah yang telah kami perbuat ini sebegitu buruknya? Kumohon, beri tahu aku. Apakah itu hukuman yang pantas kami terima?”

Itu, sudut pandang “pelaku”.
Sementara dari sudut pandang laki-laki, dalam hal ini si reporter, Hashimoto, keempat gadis itu adalah sampah. Bahkan, baginya, masih mending pelacur, karena ada jasa jelas yang ditawarkan. Sementara mereka berbalut kepura-puraan memanfaatkan laki-laki yang kesepian.

“Dia mengincarmu karena kau si idiot berhati lembut yang kesepian. Dan dia tahu dia dapat memeras banyak uang darimu.” (p. 161)

“Bayangkan waktu kerjamu di perusahaan komputer, atau kau seorang pengemudi truk, atau seorang guru SMA. Kau menjalani hari-hari tanpa menemui seorang perempuan pun. Kemudian, suatu hari, kau dihubungi oleh seorang perempuan.”
Menurut saya, yang menyakitkan adalah kepura-puraan itu. Berpura-pura mencintai, merindukan, membutuhkan seseorang hingga membuat orang itu percaya dirinya dicintai, dirindukan, dan dibutuhkan, padahal hanya untuk diperas sebelum dibuang memang menyakitkan. Oh ya, mereka memeras hartamu sampai nyaris tak bersisa. Bahkan sampai limit kartu kreditmu habis. Baru laki-laki itu ditinggalkan. Bukan hanya harta, jiwa yang tadinya merasa punya arti karena demikian dicintai pasti terasa hampa. Raganya bagai cangkang kosong.

Saya pernah membaca kasus serupa di komik GTO *ehm*. Sebagai bahan penelitian, cowok dibuat merasa bagai raja. Ceweknya seakan menghamba kepadanya. Setelah mendapat hasil untuk data penelitian, cowok itu dicampakkan. Dan biasanya mereka masuk RSJ.

Begitulah. Melihat kovernya, topeng yang kita pakai sebaiknya memang tidak kelewat tebal. Karena bagaimanapun tebal dan banyak topeng itu, selalu ada kemungkinan tersingkap.
Dari sudut pandang kita, pembaca, terserah masing-masing, bagaimana menanggapi kasus di buku ini.

Atau jangan-jangan, setelah membaca ulasan ini kalian justru membayangkan ada yang bersedia kalian bayar untuk berpura-pura jatuh cinta kepada kalian?
(ʃƪ)

No comments:

Post a Comment

Pages