Entri Populer

Saturday 2 September 2017

Imajinasi Pun Butuh Konsistensi--Ulasan Ringan Dua Cerpen Eka Kurniawan



Buku yang saya pilih saat ingin bacaan ringan biasanya memang kumpulan cerpen. Buku Perempuan Path Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi *hosh hosh* baru-baru ini saya temukan di tumpukan, jadi buku inilah yang saya baca.

Dari 15 cerpen di dalamnya, ada beberapa cerpen yang menarik untuk dibahas. Kalau belum baca, saran saya baca dulu. Soalnya, ini ulasan, bukan review, jadi bakal banyak spoiler di dalamnya.

Yang utama menarik untuk dibahas adalah "La Cage aux Folles". Ide untuk menceritakan kemungkinan yang terjadi pada pasangan sejenis yang dituangkan Eka menarik. Misal, A dan B sama-sama laki-laki dan saling jatuh cinta, sebenarnya mereka mencintai fisik atau raga? Mencintai perempuan di dalam tubuh lelaki, atau memang menyukai tubuh lelaki yang bisa diposisikan sebagai wanita ketika berhubungan? 

Awalnya, cerpen dibuka dengan percakapan Kemala dan Martha. 

"Antara Jakarta dan Los Angeles barangkali bukan jarak yang jauh buatku," kata Kemala kepada Martha akhirnya, sebelum melanjutkan, "tapi antara tubuh lelaki dan perempuan, kau akan tahu, ada jarak yang terlampau jauh untuk kutempuh." 

Sampai di sini, imajinasi apa yang terbentuk di kepala pembaca mengenai tokoh-tokoh itu?

Kemala dan Martha sama-sama wanita, dan salah satu di antara mereka--kemungkinan Martha, ingin "mengganti" tubuh. Menjadi laki-laki. 

Iya, nggak? Atau, ada yang mendapat kesan berbeda?

Cerita diteruskan dengan kenyataan bahwa nama asli Martha adalah Marto. 

Oh, oke. Jadi, Kemala siapanya Marto? Keluarga, sahabat, atau kekasih?

Cerita berlanjut mengenai perjuangan Marto benar-benar mengganti tubuh menjadi Martha. Ia memohon kepada kawannya agar dibawa ke Amerika. Di sana, ia terus berkembang hingga mendaftar menjadi penyanyi restoran La Cage aux Folles. 

Kemudian, ada bagian cerita yang menampilkan satu kalimat pendek. 

Melintasi Samudra Pasifik, di dalam lambung pesawat Airbus A380, seorang lelaki mencoba duduk sambil membaca novel Shidney Sheldon, Rage of Angels, yang dibelinya di bandara. Tujuh jam lagi baru ia akan sampai di bandara LAX, Los Angeles.
Lelaki itu Kemala. Ia merasa pesawat tersebut sangat lambat.

Hah? 
Lelaki itu Kemala.
Kemala itu lelaki.
-___-"
Baiklah, saya merasa tertipuh. Itu bukan nama yang membuat saya memiliki kecurigaan sedikit pun bisa dipakai untuk uniseks. Bukan nama yang umum digunakan untuk "menjebak" pembaca. 

Meskipun, sudah ada petunjuk seperti berikut.

Sejujurnya, Kemala tak suka Marto mengubah namanya menjadi Marni dan berkali-kali mengingatkannya, "Kamu tak perlu menjadi perempuan, Sayang."

Nyatanya, saya masih loading saat bagian itu. Saya pikir... jadi, Kemala perempuan yang sebenarnya menyukai perempuan, tapi merasa jatuh cinta pada Marto yang bertubuh laki-laki namun berjiwa perempuan? << Hu um, saat bagian ini, kepala saya makin berdenyut. Dan ternyata jawabannya sesederhana Kemala adalah laki-laki. Ini tidak adil... pilihan nama itu terlalu tidak biaaasssaaaa.... *baiklah, abaikan drama ini. 

Dan di akhir, meskipun menyusul ke restoran dan melihat langsung perubahan Marto menjadi Martha, Kemala merasa sudah tidak lagi mencintainya.

Oke, jadi ide dasar Eka adalah: Bagaimana jika ketika salah satu dari pasangan sejenis memutuskan mengganti tubuh, pasangannya justru tak suka dan memutuskan berpisah? << begitu kira-kira.

Jadi, cinta macam apa yang terjadi di antara Kemala dan Marto?
Apakah bisa kita sebut Kemala mencintai Marto apa adanya, karena dia justru meminta Marto tetap seperti saat itu? 
Atau, justru Kemala tidak mencintai Marto apa adanya, karena ternyata dengan tubuh yang lain Kemala merasa mereka sudah tak bisa lagi bersama?

Berarti, cinta Kemala hanya fisik semata, dong? Ketertarikan sesama jenis artinya terkait fisik, bukan jiwa. Itu yang ingin ditampilkan Eka. Dan menurut saya menarik.


(Tambahan Dimulai)

Nah, nah, demam saya sudah turun. Dan saya teringat. Ada tokoh bernama Laksono yang terlibat selama perubahan bentuk tubuh Marto ke Martha. Awalnya, ketika ditawari bahwa Marto juga bisa "dipakai", Laksono berkata, "Najis, najis."

Tapi..., setelah operasi berhasil dan Martha memilih wajah pemain film dewasa dari Indonesia bernama Anita Karma yang jadi favorit Laksono, dia malah mendatangi Martha.

Dengan wajah memerah, Laksono bertanya, "Bolehkah?"

Perubahan wujud *buset istilahnya Marto menjadi pemain film itu sudah membuat Laksono tak peduli lagi siapa dia sebelumnya. Toh yang tampak di hadapannya adalah wanita yang jadi temannya berimajinasi selama ini.

Jadi, lagi-lagi fisik yang berperan. Perubahan fisik seseorang bisa mengubah perlakuan orang lain kepadanya. Yak. Itu, kita semua tau. Bukan rahasia. Dan dirasa wajar terjadi apa adanya~~~

(Tambahan selesai)

***

Cerpen kedua yang akan saya bahas adalah cerpen "Membuat Senang Seekor Gajah". Cerpen ini dibuka dengan seekor gajah yang gelisah karena cuaca panas. Ia dengar dari kawan-kawannya, manusia memiliki lemari pendingin kecil. Dengan niat menumpang mendinginkan diri di kulkas manusia, Gajah mengetuk pintu. 

Dua anak kecil yang membuka. Tak ada orang tua, tak ada pengasuh. 

"Hei, Gajah. Apa yang bisa kami bantu?" ....
"Aku kepanasan. Aku ingin masuk ke lemari pendingin," kata si Gajah malu-malu.

Tapi, ternyata Gajah terlalu besar.
Beberapa cara sudah dicoba. Kedua anak itu
mengeluarkan rak-rak penyekat, dan si Gajah menggulung belalainya.
Masih tidak berhasil. Hanya sedikit bagian kepala Gajah yang masuk.

Muncullah sebuah gagasan dari salah satu anak itu.

"Mungkin kita harus memotong-motongnya, Potong kecil-kecil sehingga bisa masuk ke lemari."
Si anak barangkali sampai ke gagasan itu setelah mengingat ibunya pernah memotng-motong buah pepaya agar masuk ke mangkuk kecil.
Itu harus dicoba, pikir si anak lelaku. Selama beberapa saat kedua anak sibuk memotong-motong si Gajah.

Oke, cukup sampai di situ. Kutipan itu berurutan, memang begitu adanya.
Sebenarnya, ketika si anak perempuan sudah mengungkapkan secara lisan ide untuk memotong-motongnya, saya sudah menunggu reaksi. Dari si Gajah. Yang dibuat bisa berbincang dengan manusia sejak awal.

Ayolah,ketika dia minta izin mau ngadem di kulkas, perbincangan mereka lancar. Dan ketika mendengar anak-anak itu mau memotong-motongnya, si Gajah diam saja? Tak ada reaksi?

Mungkin, dia tidak mengerti arti kata "potong".

Siapa itu yang berbicara? *tengok kanan kiri
Yup, saya sempat berpikir begitu. Lalu, penuh harap, melanjutkan membaca. 
Tapi....

Pertama, mereka mencopot dan membagi-bagi keempat kakinya, lalu ekornya, lalu kepalanya, lalu telinganya yang lebar dan belalainya yang panjang. 

Dan begitu seterusnya diceritakan kedua anak itu berusaha memasukkan sebanyak mungkin bagian tubuh Gajah ke dalam kulkas. 

Hingga si anak perempuan kemudian menyadari sesuatu.
"Kurasa kita telah membunuh si Gajah." Kata-katanya mengandung sejenis kesedihan.

Oke. Jadi sudah pasti itu Gajah beneran sudah dipotong-potong.
Saya kesal. 
Ketika sebuah benda sudah dipersonifikasi, maka ada hal-hal yang terikat pada benda tersebut.
Dan si Gajah selain bisa berbincang dengan manusia, juga bisa merasakan suhu panas. Itulah kenapa awalnya dia kepingin nyoba masuk kulkas, kan?
Tapi, apa ketika diseset kakinya si Gajah nggak bereaksi? Sama sekali?

No....

Menulis fiksi memang menggunakan imajinasi. Namun, imajinasi pun butuh konsistensi.


Padahal, kalimat menjelang akhir di cerpen ini bagus. 

"Membuatnya senang kupikir hal yang lebih penting daripada yang lain. 
Percuma ia hidup jika tidak senang."

Ah, apa mungkin... Gajah itu adalah boneka gajah, dan dua anak itu berimajinasi seperti si ayah di Fortunately, the Milk karya Neil Gaiman? Hah? 
*baiklah, itu kebablasan. 

Saya berpikir begitu karena darah yang dihasilkan Gajah tidak disebut sedikit pun. Tapi, tidak ada petunjuk kuat kalau gajah itu cuma boneka. Misal, ketika emak-bapak kedua anak itu pulang, menemukan boneka gajah koyak moyak di lantai dan kulkas... *malah ngarang sendiri

Baiklah, ternyata saya cuma kuat bahas 2 cerpen itu saja. 
Setidaknya, saya kembali membaca, dan menulis. 
Ahahahahahahah!!!
<(^0^)>
*kayaknya saya butuh berobat

Sebelum menutup, ada satu cerpen lagi yang menarik. "Jangan Kencing di Sini". Tentang... cewek yang... mmm... silakan dibaca langsung aja, deh. 
*kabur...


No comments:

Post a Comment

Pages